Rabu 09 Mar 2022 09:01 WIB

China Ingin Pembicaraan Damai Terlaksana antara Rusia dan Ukraina

China, Prancis dan Jerman bahas dukungan pembicaraan damai Rusia-Ukraina

Rep: Dwina Agustin/ Red: Esthi Maharani
Presiden China Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara satu sama lain selama pertemuan mereka di Beijing, China pada 4 Februari 2022.
Foto: Alexei Druzhinin, Sputnik, Kremlin Pool Photo
Presiden China Xi Jinping, kanan, dan Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara satu sama lain selama pertemuan mereka di Beijing, China pada 4 Februari 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Presiden China Xi Jinping pada Selasa (8/3/2022), menyerukan menahan diri secara maksimum di Ukraina. Dia mengatakan China merasa sedih melihat api perang menyala kembali di Eropa.

Laporan siaran penyiaran pemerintah Cina CCTV menyatakan, Xi berbicara pada pertemuan virtual dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz. Dalam perbincangan itu, dia mengatakan ketiga negara harus bersama-sama mendukung pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina.

Baca Juga

Xi menggambarkan situasi di Ukraina dalam kondisi mengkhawatirkan dan mengatakan prioritas harus mencegahnya meningkat atau berputar di luar kendali. Dia juga mengatakan Prancis dan Jerman harus melakukan upaya untuk mengurangi dampak negatif dari krisis dan menyatakan keprihatinan tentang dampak sanksi terhadap stabilitas keuangan global, pasokan energi, transportasi, dan rantai pasokan.

China telah menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi. Beijing telah berulang kali menyatakan penentangannya terhadap sanksi yang dinilai ilegal terhadap Moskow.

Persahabatan China dengan Rusia semakin kuat sejak bulan lalu. Presiden Vladimir Putin menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin Beijing dan mendeklarasikan kemitraan strategis tanpa batas.

Hanya saja, ikatan tersebut menjadi canggung bagi China ketika perang di Ukraina meningkat. Moskow menggambarkan tindakannya di Kiev sebagai operasi khusus untuk melucuti senjata tetangganya dan menggulingkan para pemimpin yang disebut neo-Nazi. Ukraina dan sekutu Baratnya menyebut ini sebagai dalih tak berdasar untuk invasi menaklukkan negara berpenduduk 44 juta orang itu.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement