Sabtu 12 Mar 2022 09:43 WIB

China Mengaku 'Sedih' Melihat Perang Kembali Terjadi di Eropa

China Mengaku 'Sedih' Melihat Perang Kembali Terjadi di Eropa

Red:
Presiden China Xi Jinping
Presiden China Xi Jinping

Presiden China Xi Jinping mengaku sedih melihat peperangan kembali berkobar di Eropa dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri.

Saat berbicara pada pertemuan virtual dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz, Presiden Xi mengatakan mereka harus bersama-sama mendukung pembicaraan damai antara Rusia dan Ukraina.

Menurut laporan lembaga penyiaran China CCTV, Presiden Xi mengatakan prioritas sekarang adalah mencegah perang ini meningkat dan menjadi tidak terkendali.

Dia mendesak Prancis dan Jerman melakukan upaya untuk mengurangi dampak negatif dari krisis, dan mengungkapkan keprihatinan tentang dampak sanksi terhadap stabilitas keuangan global, pasokan energi, transportasi dan mata rantai pasokan. 

China menolak untuk mengutuk tindakan Rusia di Ukraina atau menyebutnya sebagai invasi.

Negara itu juga berulang kali mengungkapkan penentangannya terhadap apa yang digambarkannya sebagai sanksi ilegal terhadap Rusia.

Hubungan China dengan Rusia diperkuat bulan lalu ketika Presiden Vladimir Putin menghadiri upacara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing.

Sebelumnya Perdana Menteri Australia Scott Morrison mengatakan China memiliki pengaruh lebih dibandingkan negara lain untuk menghentikan invasi Rusia di Ukraina.

PM Morrison menyatakan “terserah China” untuk menunjukkan  komitmennya terhadap perdamaian global pada momen krusial dalam sejarah. 

"Tidak ada negara lain yang punya pengaruh lebih besar dalam menyelesaikan perang mengerikan di Ukraina ini selain China," katanya.

"Selama mereka bermain dua arah dalam hal ini, maka saya khawatir pertumpahan darah akan terus berlanjut," lanjut PM Morrison.

Pemerintah Rusia menggambarkan tindakannya di Ukraina sebagai "operasi khusus" untuk melucuti senjata tetangganya dan menggulingkan para pemimpin Ukraina yang disebutnya sebagai neo-Nazi.

Ukraina dan sekutu Barat menyebut dalih ini tak berdasar untuk melakukan invasi terhadap negara berpenduduk 44 juta jiwa.

Artikel ini diproduksi oleh Mariah Papadopoulos dari artikel ABC News

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement