Senin 14 Mar 2022 14:04 WIB

Hong Kong Hati-Hati Putusakan Perketat Jarak Sosial

Mental warga Hong Kong menjadi alasan dalam petimbangan aturan terbaru.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Warga Hong Kong melakukan tes Covid-19, Rabu (9/3/2022).
Foto: AP Photo/Vincent Yu
Warga Hong Kong melakukan tes Covid-19, Rabu (9/3/2022).

REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Pemimpin Hong Kong Carrie Lam mengatakan tidak memiliki rencana lebih memperketat langkah-langkah jarak sosial, Senin (14/3/2022). Dia menjadikan mental warga Hong Kong sebagai alasan dalam petimbangan aturan terbaru.

"Pemerintah harus sangat berhati-hati sebelum memperketat langkah-langkah jarak sosial lebih lanjut dengan kebutuhan untuk mempertimbangkan kesehatan mental warga," kata Lam.

Baca Juga

Lam mengatakan ada ruang terbatas untuk menerapkan  pengetatan lebih lanjut. Aturan ketat yang kini berlaku termasuk pertemuan lebih dari dua orang dilarang, sebagian besar tempat ditutup termasuk sekolah, dan kewajiban menggunakan masker di semua tempat, bahkan saat berolahraga di luar ruangan.

Hong Kong telah melaporkan lebih dari 700.000 infeksi dan sekitar 4.000 kematian, sebagian besar terjadi dalam tiga minggu terakhir. Bekas jajahan Inggris itu telah mengikuti strategi yang sama dengan daratan China yang berupaya untuk mengekang penyebaran wabah segera setelah laporan pertama kali.

Wilayah yang diperintah China ini telah menutup perbatasannya secara efektif selama dua tahun dengan sedikit penerbangan yang dapat mendarat dan sebagian besar penumpang transit dilarang. Namun, angka kematian telah melonjak, terutama di antara lansia yang sebagian besar tidak divaksinasi.

Menurut publikasi data Our World in Data, kota tersebut mencatat kematian terbanyak per satu juta orang secara global dalam seminggu hingga 10 Maret. Kondisi ini hampir sama dengan daratan yang melaporkan lonjakan kasus virus corona lokal baru pada akhir pekan. Jumlah tersebut lebih dari tiga kali lipat beban kasus pada hari sebelumnya serta tertinggi dalam sekitar dua tahun. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement