Jumat 18 Mar 2022 07:17 WIB

Nasib Pengungsi Rohingya di Aceh Kian Memburuk

Kondisi pengungsi Rohingya di Aceh semakin memburuk karena terabaikan.

Rep: Fergi Nadira B/ Red: Esthi Maharani
Pengungsi etnis Rohingya beristirahat di balai Desa Alue Buya Pasie, Jangka, Kabupaten Bireun, Aceh, Senin (7/3/2022).  Sebanyak 114 orang etnis Rohingya yang terdiri dari 58 laki-laki, 21 perempuan dan 35 anak-anak yang terdampar di perairan Jangka Bireuen pada Minggu (6/7/2022) itu masih menunggu rapat koordinasi antara UHNCR, IOM dengan pemerintah daerah terkait relokasi etnis Rohingya ke tempat penampungan sementara di Aceh.
Foto: ANTARA/Rahmad
Pengungsi etnis Rohingya beristirahat di balai Desa Alue Buya Pasie, Jangka, Kabupaten Bireun, Aceh, Senin (7/3/2022). Sebanyak 114 orang etnis Rohingya yang terdiri dari 58 laki-laki, 21 perempuan dan 35 anak-anak yang terdampar di perairan Jangka Bireuen pada Minggu (6/7/2022) itu masih menunggu rapat koordinasi antara UHNCR, IOM dengan pemerintah daerah terkait relokasi etnis Rohingya ke tempat penampungan sementara di Aceh.

REPUBLIKA.CO.ID, LHOKSEUMAWE -- Kondisi pengungsi Rohingya di Aceh semakin memburuk karena terabaikan. Terlebih pada 114 orang pengungsi yang berada di Desa Alue Buya Pasie, Kabupaten Bireuen sejak kedatangan mereka 6 Maret lalu.

Wacana awal menyebutkan, setelah lima hari diperiksa kondisi kesehatan dan rapid test Covid-19, para pengungsi akan direlokasi ke shelter penampungan sementara di BLK Kota Lhokseumawe. Hal ini serupa dengan respons terhadap pengungsi yang hadir pada gelombang sebelumnya.

Namun, Pemerintah Kota Lhokseumawe tidak mau menerima pemindahan pengungsi  dari Bireuen tanpa alasan jelas. Satuan tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri (Satgas PPLN) di Jakarta telah mengeluarkan surat rekomendasi pemindahan, yaitu seluruh pengungsi di Kabupaten Bireuen dan BLK Lhokseumawe akan dipindahkan ke Rumah Detensi Imigrasi di Pekan Baru atau Tanjung Pinang.

Sayangnya, pemindahan tersebut membutuhkan waktu untuk berproses, sedangkan kondisi pengungsi yang berada di Kabupaten Bireuen harus tinggal di tenda darurat. Beberapa hari terakhir, tenda sementara pengungsi kebanjiran dan satu per satu pengungsi mulai jatuh sakit.

Kondisi terburuk justru dialami oleh pengungsi perempuan dan anak-anak. Alih-alih mendapat fasilitas dan perlindungan yang layak, justru mereka menjadi semakin rentan. Banjir yang menggenangi berpotensi membawa bibit penyakit dan hewan buas, yang setiap waktu bisa mengancam keselamatan pengungsi.

Yayasan kemanusiaan, Geutanyoe yang berbasis di Aceh menilai pembiaran tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Pasalnya, pembiaran tersebut akan memperburuk kondisi pengungsi di berbagai aspek.

"Pemerintah Kota Lhokseumawe bisa dianggap sebagai pelaku pelanggaran HAM karena melakukan pembiaran dan mengabaikan surat rekomendasi dan surat perintah dari PPLN, yaitu committed by omission," ujar Head Office Jakarta Yayasan Geutanyoe Reza Maulana dalam rilis pers yang diterima Republika, Jumat (18/3/2022).

Reza mengatakan, Yayasan Geutanyo mendesak pemerintah Kota Lhokseumawe menerima pengungsi di Shelter BLK, dan pemerintah Kabupaten Bireuen mengurus proses pemindahan.

"Apabila pemerintah Kota Lhokseumawe tetap mengabaikan, Pemerintah Aceh harus mengambil alih proses penanganan darurat pengungsi di Kabupaten Bireuen," katanya.

Menurut dia, jika pemerintah Aceh tetap mengabaikan, PPLN harus mengambil alih proses penanganan pengungsi di Kabupaten Bireuen. "Pemerintah Aceh harus segera memproduksi Qanun Aceh terkait penanganan pengungsi dari luar negeri," kata Reza.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement