REPUBLIKA.CO.ID, HONG KONG -- Hong Kong berencana untuk melonggarkan beberapa pembatasan terkait Covid-19 mulai bulan depan, April. Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mengumumkan akan mencabut larangan penerbangan dari sembilan negara dan mengurangi durasi karantina bagi kedatangan luar negeri hingga membuka kembali sekolah.
"Larangan penerbangan tidak lagi berlaku karena itu akan membawa gangguan besar bagi orang-orang Hong Kong yang terjebak di sembilan negara ini jika kita melanjutkan larangan itu," kata Carrie Lam dalam jumpa pers Senin (21/3/2022).
Larangan penerbangan dari Australia, Inggris, Kanada, Prancis, India, Nepal, Pakistan, Filipina, dan Amerika Serikat akan dicabut mulai 1 April. Ia mengatakan, karantina hotel untuk kedatangan luar negeri dipotong menjadi tujuh hari dari 14 hari jika penduduk dinyatakan negatif. Dia sebelumnya mengatakan langkah-langkah akan dilakukan hingga 20 April.
"Sekolah akan melanjutkan kelas tatap muka mulai 19 April, setelah liburan Paskah sementara tempat-tempat umum termasuk fasilitas olahraga juga akan dibuka kembali mulai 21 April," katanya.
Perbatasan Hong Kong telah ditutup secara efektif sejak 2020 dengan sedikit penerbangan yang dapat mendarat dan hampir tidak ada penumpang yang diizinkan untuk transit. Hong Kong mengisolasi kota yang telah membangun reputasi sebagai pusat keuangan global.
Bisnis dan ekonomi kota terhuyung-huyung dari penutupan yang meluas, sementara dokter mengatakan banyak dari 7,4 juta penduduk kota itu bergulat dengan meningkatnya masalah kesehatan mental, terutama di kalangan keluarga berpenghasilan rendah. Perputaran kebijakan Lam terjadi setelah pemerintahannya berulang kali dimarahi oleh politisi, media pro-Beijing, dan media sosial Cina, hanya beberapa pekan sebelum kota itu akan mengadakan pemilihan pada 8 Mei untuk memilih siapa yang akan memimpin wilayah itu selama lima tahun ke depan.
Dia menolak berkomentar apakah dia akan mencalonkan diri untuk masa jabatan baru. Pengumuman Lam datang setelah reaksi keras dari bisnis dan penduduk karena melihat seluruh dunia berangsur beralih ke "hidup dengan virus". Penduduk di wilayah yang dikuasai China menjadi semakin frustrasi dengan tindakan tegas yang banyak di antaranya telah diberlakukan selama lebih dari dua tahun.