REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Ketua Majelis Nasional Kuwait, Marzouq Al-Ghanim mengatakan bahwa dunia tidak dapat menerima masalah pendudukan atau invasi dengan standar ganda.
Pernyataan ini dijelaskannya sebelum konferensi Inter-Parliamentary Union di Jakarta, Indonesia. “Kami pada prinsipnya jelas mengutuk pendudukan apa pun, dan saya berbicara dari negara yang diduduki 30 tahun lalu," kata Al-Ghanim dilansir dari Wafa News, Sabtu (19/3/2022).
“Tidak ada, dan saya sedang berbicara dengan Grup 12+, bagaimana mereka bisa meminta pengusiran delegasi Rusia atau delegasi lain dari IPU untuk invasi yang terjadi beberapa hari atau pekan lalu dan tidak mengusir Israel untuk invasi itu? Sesuatu yang sudah terjadi 60 tahun,” tambahnya.
Menurutnya, dunia internasional, tidak memberikan perlakuan serupa kepada negara lain terutama Palestina. “Jadi itu standar ganda dan saya kira Anda sebagai presiden tidak menerima hal seperti itu,” ujarnya kepada Presiden IPU.
Rusia melancarkan invasi besar-besaran pada 24 Februari. Ratusan warga sipil telah dilaporkan tewas atau terluka, termasuk anak-anak. Menurut PBB, lebih dari satu juta orang Ukraina telah melarikan diri.
Invasi yang diperintahkan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin telah memicu kecaman di seluruh dunia dan sanksi ekonomi yang semakin berat terhadap Rusia. Putin bersikeras bahwa Ukraina memiliki hubungan bersejarah dengan Rusia.
Negara Barat saat ini menunjukkan persatuan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam menanggapi invasi Rusia ke Ukraina.
Pemerintah hingga perusahaan bersatu untuk memberi sanksi dan memboikot Rusia hingga mudahnya akses pengungsi Ukraina, menjadi hal yanb tidak terjadi pada pengungsi Timur Tengah.
Krisis pengungsi Ukraina memang mengerikan. Menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR), lebih dari 3 juta orang telah meninggalkan negara itu sejak invasi Rusia, hampir sebulan terakhir.
Namun, dalam konteks pengungsi korban perang, butuh enam bulan bagi satu juta pengungsi dari Suriah pada 2013.