REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mencatat sudah 2.421 warga sipil yang menjadi korban dalam perang di Ukraina. Angka ini tercatat sejak Federasi Rusia menggelar serangan pada 24 Februari lalu.
Dari 902 korban jiwa terdiri dari 179 laki-laki, 134 perempuan, 11 anak perempuan dan 25 anak laki-laki. Sebanyak 514 orang dewasa dan 39 anak-anak yang jenis kelaminnya belum diketahui.
Sementara 1.459 korban luka terdiri dari 156 laki-laki, 117 perempuan, 22 anak perempuan, dan 16 anak laki-laki. Sebanyak 1.088 orang dewasa jenis kelaminnya tidak diketahui.
Sebagian besar korban jiwa dan luka diakibatkan ledakan senjata berat yang berdampak di berbagai daerah. Seperti tembakan rudal, serangan udara, arteleri berat, dan sistem peluncur multi-roket.
OHCHR yakin angka sesungguhnya jauh lebih tinggi karena informasi dari lokasi yang dilanda pertempuran intensif terlambat diterima. Daerah-daerah itu antara lain Kota Mariupol, Volnovakha (wilayah Donetsk), Izium (Kharkiv), Sievierodonetsk, Rubizhne (Luhansk), dan Trostianets (Sumy).
Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut serangan terbesar satu negara ke negara lain di Eropa sejak Perang Dunia II itu sebagai "operasi militer khusus" yang bertujuan menghentikan genosida pemerintah Ukraina terhadap pengguna bahasa Rusia. Ukraina dan negara-negara Barat mengatakan tuduhan tersebut tanpa dasar.
Krisis kemanusiaan di Mariupol yang dikepung Rusia semakin buruk. Masyarakat tidak memiliki makanan, air bersih dan listrik. Hal ini mendorong pemimpin Eropa meningkatkan tekanan dengan menambah sanksi ke Moskow.