REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW - Rusia mengeklaim telah menggunakan rudal jelajah dan rudal hipersonik untuk membombardir wilayah Ukraina. Rudal jelajah dioperasikan dari kapal di Laut Hitam dan Kaspia sedangkan rudal hipersonik dari wilayah udara Krimea.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Rusia Mayor Jenderal Igor Konashenkov mengatakan pada Ahad (21/3/2022), bahwa rudal hipersonik Kinzhal (Belati) menghantam depot bahan bakar Ukraina di Kostiantynivka dekat pelabuhan Laut Hitam Mykolaiv.
"Sedangkan rudal jelajah Kalibr diluncurkan dari perairan Laut Hitam terhadap pabrik Nizhyn yang memperbaiki kendaraan lapis baja Ukraina yang rusak dalam pertempuran," ujarnya seperti dikutip laman Aljazirah, Senin (21/3/2022).
Serangan tersebut menandai hari kedua berturut Rusia menggunakan Kinzhal. Rudal Kinzhal adalah senjata yang mampu menyerang target sejauh 2.000 km (1.250 mil) dengan kecepatan 10 kali kecepatan suara.
Konashenkov mengatakan, bahwa serangan lain oleh rudal yang diluncurkan dari udara menghantam sebuah fasilitas di Ovruch, wilayah Zhytomyr utara. Wilayah itu adalah tempat para pejuang asing dan pasukan khusus Ukraina bermarkas.
Sehari sebelumnya, militer Rusia mengatakan Kinzhal telah digunakan untuk pertama kalinya dalam pertempuran untuk menghancurkan gudang amunisi di Diliatyn, daerah Pegunungan Carpathian di Ukraina barat.
Rudal Hipersonik, Varian Lain dari Rudal Balistik
Rusia memang bangga dengan persenjataan canggihnya. Presiden Vladimir Putin mengatakan pada Desember bahwa Rusia adalah pemimpin global dalam rudal hipersonik. Rudal hipersonik Rusia, lanjutnya, memiliki kecepatan, kemampuan manuver dan ketinggiannya membuat mereka sulit dilacak dan dicegat.
Rudal Kinzhal adalah bagian dari serangkaian senjata yang diluncurkan pada 2018. Rusia pertama kali menggunakan rudal hipersonik selama kampanye militernya di Suriah pada 2016.
Putin menyebut rudal Kinzhal sebagai senjata yang ideal mengingat kecepatan dan kemampuannya untuk mengatasi sistem pertahanan udara. "Ini adalah rudal yang mampu membawa hulu ledak nuklir dan diyakini tidak terdeteksi oleh sistem pertahanan udara barat," kata koresponden Aljazirah, Dorsa Jabbari dalam laporannya dari Moskow. "Itu disebut rudal balistik yang tak terhentikan," imbuhnya.
Putin mengumumkan serangkaian senjata hipersonik baru pada 2018 dalam salah satu pidatonya yang paling agresif selama bertahun-tahun. Ia mengatakan bahwa senjata itu dapat mengenai hampir semua titik di dunia dan menghindari perisai rudal buatan AS.
Tahun berikutnya, ia mengancam akan menyebarkan rudal hipersonik di kapal dan kapal selam yang dapat mengintai di luar perairan teritorial AS. Hal semacam itu bisa dilakukan jika Washington bergerak untuk menyebarkan senjata nuklir jarak menengah di Eropa.
AS telah secara aktif mengejar pengembangan senjata hipersonik sebagai bagian dari program Prompt Global Strike konvensional sejak awal 2000-an.
"Senjata-senjata ini dapat memungkinkan opsi serangan yang responsif, jarak jauh, terhadap ancaman jarak jauh, bertahan, dan/atau kritis waktu ketika pasukan lain tidak tersedia, ditolak aksesnya, atau tidak disukai," kata mantan Komandan Komando Strategis AS Jenderal John Hyten.