REPUBLIKA.CO.ID, LONDON— Organisasi advokasi asal Inggris, Oxfam menyebut korban manusia dari perang Yaman telah meningkat tajam. Bahkan disebutkan bahwa tiga perempat dari populasi negara itu sangat membutuhkan dukungan kemanusiaan.
Organisasi nirlaba itu memperingatkan "penderitaan yang tak terbayangkan" jika perang berlanjut selama satu tahun lagi. Padahal kelaparan dan penyakit yang sudah mempengaruhi jutaan orang.
“Warga Yaman sangat membutuhkan perdamaian, sebaliknya mereka menghadapi lebih banyak kematian dan kehancuran,” kata Direktur Oxfam di Yaman, Ferran Puig dilansir dari The New Arab, Kamis (24/3/2022).
"Kekerasan dan kelaparan meningkat sekali lagi dan jutaan orang tidak bisa mendapatkan kebutuhan dasar keluarga mereka," tambahnya.
Oxfam memperingatkan bahwa dua pertiga dari penduduk Yaman, atau sekitar 19 juta orang, bisa kelaparan tahun ini kecuali perang berakhir atau kesenjangan besar dalam anggaran banding diisi.
Permohonan tersebut saat ini 70 persen kekurangan dana, memberikan "hanya 15 sen per hari per orang yang membutuhkan bantuan", kata badan amal itu.
"Tanpa perdamaian, siklus kesengsaraan akan berlanjut dan semakin dalam. Sampai saat itu, dana yang memadai untuk bantuan kemanusiaan sangat penting," kata Puig.
Invasi Rusia ke Ukraina juga memperburuk krisis Yaman karena Sanaa mengimpor 42 persen gandumnya dari Ukraina yang menyebabkan kenaikan tajam dalam harga ekspor.
Naiknya biaya bensin, yang disebabkan oleh perang, juga telah menyebabkan pengurangan pengiriman bantuan kemanusiaan yang dapat menyebabkan fasilitas kesehatan di seluruh negeri terpaksa mematikan peralatan penyelamat karena kekurangan bahan bakar.
Kelompok Houthi mengatakan awal bulan ini bahwa mereka akan menyambut baik pembicaraan dengan koalisi pimpinan Arab Saudi jika diadakan di negara netral.
Perserikatan Bangsa-Bangsa sebelumnya menggambarkan situasi di negara yang dilanda perang itu sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia.
Perang dimulai setelah pemberontak Houthi yang didukung Iran menguasai ibu kota Sanaa pada 2014, mendorong koalisi pimpinan Arab Saudi untuk campur tangan pada 2015, dengan konflik yang menewaskan puluhan ribu orang sejak itu.