Senin 04 Apr 2022 16:51 WIB

Iran Tuduh AS Harus Bertanggu Jawab atas Jeda Pembicaraan Nuklir

Washington harusnya sudah membuat keputusan politik untuk menghidupkan kembali JCPOA

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan pada Senin (4/4/2022), Amerika Serikat (AS) bertanggung jawab atas jeda dalam pembicaraan antara Iran dan kekuatan dunia di Wina.
Foto: AP Photo/Vahid Salemi
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan pada Senin (4/4/2022), Amerika Serikat (AS) bertanggung jawab atas jeda dalam pembicaraan antara Iran dan kekuatan dunia di Wina.

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Saeed Khatibzadeh mengatakan pada Senin (4/4/2022), Amerika Serikat (AS) bertanggung jawab atas jeda dalam pembicaraan antara Iran dan kekuatan dunia di Wina. Pembicaraan itu membahas tentang menghidupkan kembali Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) pada 2015.

"Amerika bertanggung jawab atas penghentian pembicaraan ini kesepakatan sangat dekat," kata Khatibzadeh.

Baca Juga

Khatibzadeh menyatakan, Washington seharusnya sudah membuat keputusan politik yang bisa menghidupkan kembali JCPOA. Saat ini Teheran masih dapat menunggu, hanya saja, waktu tersebut akan habis.

"Teheran tidak akan menunggu selamanya agar pakta itu dihidupkan kembali," ujar Khatibzadeh.

Departemen Luar Negeri AS mengatakan pada pekan lalu, bahwa sejumlah kecil masalah yang belum terselesaikan tetap dalam pembicaraan nuklir. Washington menegaskan, tanggung jawab ada di Teheran untuk membuat keputusan tersebut.

Iran mengatakan bahwa masih ada masalah yang belum terselesaikan, termasuk AS menghapus penunjukan organisasi teroris asing (FTO) terhadap Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC) Iran. Teheran juga telah mendorong jaminan bahwa presiden AS di masa depan tidak akan menarik diri dari perjanjian, seperti yang pernah dilakukan oleh Donald Trump pada 2018.

Selain itu, Khatibzadeh mengatakan, Teheran siap untuk melanjutkan pembicaraan dengan saingan regional utamanya, Arab Saudi. Hanya saja, pembicaraan itu dapat terjadi jika Riyadh menunjukkan kesediaan untuk menyelesaikan masalah luar biasa antara kedua negara. Kedua negara telah memutuskan hubungan sejak 2016.

Arab Saudi dengan mayoritas populasi Muslim Sunni dan Iran dengan Muslim Syiah bersaing untuk mendapatkan pengaruh di seluruh kawasan Timur Tengah dalam berbagai peristiwa-peristiwa, termasuk perang di Yaman dan di Lebanon. Ketegangan antara kedua negara melonjak pada 2019 setelah serangan terhadap pabrik minyak Saudi yang diklaim dilakukan oleh Iran. 

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement