Selasa 05 Apr 2022 13:16 WIB

Oposisi Tolak Permintaan Bentuk Pemerintahan Bersama Sri Lanka

Sebanyak 26 menteri Kabinet mengundurkan diri dari jabatan pada akhir pekan.

Rep: Dwina agustin/ Red: Friska Yolandha
Warga Sri Lanka mengantre untuk membeli gas memasak di sebuah pedagang di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 25 Maret 2022.
Foto: AP/Eranga Jayawardena
Warga Sri Lanka mengantre untuk membeli gas memasak di sebuah pedagang di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 25 Maret 2022.

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Partai oposisi terbesar Sri Lanka menolak undangan presiden untuk membentuk pemerintah. Sebanyak 26 menteri Kabinet mengundurkan diri dari jabatan pada akhir pekan.

Kantor Presiden Gotabaya Rajapaksa mengundang semua partai politik yang diwakili di Parlemen untuk bersama-sama menerima pengajuan menteri untuk menemukan solusi bagi krisis nasional pada Senin (4/4/2022). Namun, partai politik oposisi terbesar, United People's Force (SJB) langsung menolak usulan pemerintah untuk bersatu.

Baca Juga

"Rakyat negara ini ingin Gotabaya dan seluruh keluarga Rajapaksa pergi dan kami tidak bisa melawan kehendak rakyat dan kami tidak bisa bekerja bersama para koruptor,” kata pejabat tinggi SJB Ranjth Madduma Banadara.

SJB memiliki 54 anggota parlemen dari 225 anggota Parlemen. Penolakannya terhadap permintaan presiden kemungkinan akan mengakibatkan ketidakpastian dan protes lanjutan yang diadakan di seluruh negeri pada Senin. Padahal jam malam di seluruh negeri dicabut Senin pagi.

Presiden dan kakak laki-lakinya, Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, terus memegang kekuasaan di Sri Lanka. Meskipun keluarga mereka yang kuat secara politik menjadi fokus kemarahan publik.

Kedua saudara laki-laki lainnya, Menteri Keuangan Basil Rajapaksa dan Menteri Irigasi Chamal Rajapaksa, termasuk di antara yang mengundurkan diri, bersama dengan putra perdana menteri, Menteri Olahraga Namal Rajapaksa. Pengunduran diri itu dipandang sebagai upaya keluarga untuk menenangkan kemarahan publik, sambil mempertahankan eksekutif, pertahanan, dan kekuasaan pembuat undang-undang.

Selama beberapa bulan, Sri Lanka telah mengalami antrean panjang untuk membeli bahan bakar, gas untuk memasak, makanan, dan obat-obatan. Kekurangan bahan bakar telah menyebabkan pemadaman listrik bergilir yang berlangsung beberapa jam sehari.

Tingkat krisis semakin meningkat ketika pemerintah Sri Lanka tidak dapat membayar impor bahan pokok karena hutang yang besar dan cadangan devisa yang berkurang. Cadangan devisa yang dapat digunakan negara itu dikatakan kurang dari 400 juta dolar AS dan memiliki hampir 7 miliar dolar AS dalam kewajiban utang luar negeri untuk tahun ini saja. 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement