Pakistan telah jatuh ke dalam krisis konstitusional setelah Wakil Ketua Parlemen, Qasim Khan Suri, menolak mosi tidak percaya dari pihak oposisi terhadap Perdana Menteri Imran Khan karena dianggap sebagai "konspirasi asing."
Pada hari Minggu (03/04), anggota parlemen Majelis Nasional (majelis rendah parlemen) memberikan suara menentang PM Khan, tetapi langkah mereka digagalkan oleh pemerintah dengan alasan hukum yang kontroversial.
Anggota oposisi melakukan protes di dalam majelis dan kemudian mengadakan rapat mereka sendiri, di mana 197 anggota parlemen memberikan suara mendukung mosi tidak percaya.
Pada saat itu, Presiden Arif Alvi telah membubarkan parlemen atas saran Khan.
Aliansi oposisi, yang mengajukan mosi tidak percaya di Majelis Nasional pada 8 Maret, telah megajukan banding atas keputusan Suri di Mahkamah Agung negara itu.
Klaim konspirasi asing
Penolakan terhadap mosi tidak percaya dan pembubaran parlemen, membuat seluruh konstitusi Pakistan dipertanyakan. Pemilu akan digelar lebih cepat, tetapi Mahkamah Agung masih dapat membatalkan keputusan tersebut.
Sebelumnya, Asisten Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk Urusan Asia Selatan dan Tengah, Donald Lu, memperingatkan utusan Pakistan Asad Majeed bahwa mungkin ada "konsekuensi mengerikan" bagi Pakistan jika Khan tetap berkuasa.
Khan pun tampil berpidato di televisi, mengutuk "intervensi asing” di balik proses di parlemen.
"Sudah terbukti sekarang bahwa konspirasi telah menetas dari luar negeri. Semua orang tahu itu," kata Khan.
"Kami telah melakukan manuver ke Kedutaan Besar Amerika, memberi tahu mereka bahwa Anda telah ikut campur (dalam mosi tidak percaya)," Khan menambahkan.
AS dengan tegas membantah ikut campur urusan dalam negeri Pakistan. "Tidak ada kebenaran atas tuduhan ini," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS.
Pengamat politik Pakistan, Mosharraf Zaidi, menilai bahwa Khan sedang mencoba untuk menggiring opini publik untuk melawan oposisi dengan menuduh Barat.
"Perdana menteri jelas telah memilih platform anti-Barat untuk pemilihan berikutnya," kata Zaidi.
Sebelumnya, Khan mengunjungi Moskow dan mengadakan pertemuan dengan Presiden Vladimir Putin di hari yang sama ketika Rusia memulai invasinya ke Ukraina. Sejak itu, Khan telah menampilkan dirinya sebagai pemimpin "anti-Barat" kepada para pendukungnya.
Konsekuensi bagi demokrasi
Shehbaz Sharif dari partai oposisi Liga Muslim Pakistan menjuluki pembubaran parlemen sebagai "pengkhianatan tingkat tinggi."
"Khan telah mendorong negara ke dalam anarki, dan akan ada konsekuensi untuk pelanggaran konstitusi yang terang-terangan dan tak tahu malu," katanya.
Penolakan terhadap mosi tidak percaya pihak oposisi diyakini akan berdampak besar bagi tatanan demokrasi Pakistan.
"Peristiwa di Pakistan menandai upaya lain oleh seorang pemimpin Pakistan untuk memperpendek proses demokrasi. Dengan menghindari mosi tidak percaya, Imran Khan membuang mekanisme yang diamanatkan secara konstitusional sambil mengutip pembenaran — konspirasi asing — yang tidak memiliki bukti,” papar Michael Kugelman, pengamat politik Asia Selatan di Woodrow Wilson Center for Scholars yang berbasis di Washington, kepada DW.
Pakar hukum pun juga mengatakan bahwa ketua Majelis Nasional (ketua beserta wakil) harus netral sesuai dengan konstitusi.
"Itu adalah serangan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap demokrasi dan konstitusi oleh pemerintah terpilih. Jika tindakan pemimpin parlemen dinyatakan sah, maka setiap pemerintahan di masa depan akan diizinkan menggunakan konspirasi imajiner untuk menghentikan mosi tidak percaya," kata pakar hukum Osama Malik yang berbasis di Islamabad, kepada DW.
Sementara Madiha Afzal, pakar urusan Pakistan dan Afganistan di Institusi Brookings, mengatakan pemerintah telah "mengubah krisis politik menjadi krisis konstitusional melalui cara-cara yang tidak konstitusional."
"Mereka telah menjatuhkan supremasi hukum di negara ini. Ini adalah kemunduran bagi demokrasi Pakistan," tambahnya.
Apakah militer akan campur tangan?
Militer Pakistan sejauh ini tetap netral, tetapi krisis politik yang sedang berlangsung dinilai dapat membahayakan keamanan negara itu.
Tidak jelas berapa lama panglima militer yang berkuasa, Jenderal Qamar Javed Bajwa, akan tetap diam terhadap krisis dalam negeri. Namun, pada hari Sabtu (03/04), di depan AS, Bajwa menyatakan posisinya soal krisis Ukraina.
Berbicara dalam dialog keamanan internasional di Islamabad, Bajwa mengecam invasi Rusia ke Ukraina dan menyebutnya sebagai "tragedi besar". Ia menegaskan bahwa Pakistan memiliki hubungan baik dengan Washington seraya menambahkan bahwa Pakistan ingin dekat dengan baik Cina maupun AS.
Pernyataan sang jenderal jelas berbeda dengan sikap Khan yang anti-AS.
"Peran militer adalah kartu truf. Sudah jelas bahwa militer tidak terlibat dalam keputusan Imran Khan. Kami juga tahu bahwa panglima militer dan perdana menteri telah berselisih. Ini menunjukkan bahwa setidaknya, militer tidak berusaha membantu perjuangan Khan jika pengadilan memutuskan untuk menentang apa yang dilakukan Khan," terang Kugelman.
"Dia (Khan) juga tidak akan bisa mengandalkan bantuan apa pun dari militer menjelang kemungkinan pemilu yang digelar lebih awal," tambahnya.
Akankah Khan keluar sebagai pemenang?
Meskipun sikapnya yang anti-AS telah menghidupkan kembali popularitasnya, para analis mengatakan bahwa Khan tidak dapat memenangkan pemilu.
"Tidak jelas sama sekali bahwa partai Khan dapat memenangkan kursi yang cukup di parlemen dalam pemilihan berikutnya, terutama tanpa dukungan militer," kata Afzal.
Kugelman berpendapat bahwa Khan telah membangun kembali basis pemilihannya dalam beberapa hari terakhir, tetapi ia akan menghadapi "tantangan dalam pemilih yang lebih luas karena kinerjanya yang buruk dalam mencoba meredakan tekanan ekonomi, termasuk beberapa inflasi tertinggi di Asia Selatan."
Partai-partai oposisi menuduh Khan melakukan wanprestasi di bidang ekonomi, birokrasi dan kebijakan luar negeri. Pakistan menghadapi lonjakan angka inflasi, ketika pemerintah menghadapi defisit anggaran dan anjloknya cadangan devisa luar negeri.
(rap/pkp)