REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Paus Fransiskus diagendakan mengunjungi Lebanon pada Juni mendatang. Kunjungannya ke negara yang tengah dilanda krisis tersebut telah lama dinantikan.
"Utusan Apostolik Joseph Spiteri memberi tahu Presiden Michel Aoun bahwa Paus Fransiskus akan mengunjungi Lebanon Juni mendatang," kata kantor kepresidenan Lebanon dalam sebuah pernyataan pada Selasa (5/4/2022), dikutip laman Gulf Today.
Dalam pernyataan itu diungkapkan secara eksplisit bahwa rakyat Lebanon telah menunggu kunjungan Paus Fransiskus. “Rakyat Lebanon menunggu kunjungan ini selama beberapa waktu untuk mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia (Paus Fransiskus) atas dukungannya,” katanya.
Vatikan belum secara resmi mengonfirmasi agenda kunjungan tersebut. Hal itu biasanya diumumkan menjelang pelaksanaan kunjungan. Lebanon adalah negara dengan mayoritas Muslim. Namun dari total populasi 6,8 juta orang, sepertiga di antaranya beragama Kristen. Hal itu menjadikan Lebanon sebagai rumah bagi salah satu komunitas Kristen terbesar di Timur Tengah.
Paus Fransiskus telah menyampaikan keinginannya mengunjungi Lebanon pada berbagai kesempatan. Dia juga menyuarakan keprihatinan tentang situasi di negara yang kini terhuyung huyung di bawah krisis keuangan dan ekonomi.
Awal pekan ini Wakil Perdana Menteri Lebanon Saadeh al-Shami mengatakan, negaranya sudah menghadapi kebangkrutan. “Negara telah bangkrut seperti halnya Banque du Liban (bank sentral Lebanon). Kerugian telah terjadi dan kami akan berusaha mengurangi kerugian rakyat,” kata al-Shami saat diwawancara media lokal Al-Jadeed, dikutip Anadolu Agency, Senin (4/4/2022).
Al-Shami menjelaskan, situasi negara “tidak dapat diabaikan”, sehingga penarikan bank tidak dapat dibuka untuk semua orang. “Saya berharap kami berada dalam situasi normal,” ujarnya.
Dia mengungkapkan, kerugian bakal didistribusikan di antara negara bagian, Banque du Liban, bank-bank, dan deposan. “Tidak ada konflik pandangan tentang pembagian kerugian,” ucapnya.
Sejak akhir 2019, Lebanon telah bergulat dengan krisis ekonomi yang parah, termasuk depresiasi mata uang besar-besaran serta minimnya suplai bahan bakar dan medis. Mata uang Lebanon telah kehilangan 90 persen nilainya. Hal itu mengikis kemampuan masyarakat untuk memperoleh kebutuhan dasar, termasuk makanan, air, perawatan kesehatan, dan pendidikan.