Pengaruh politik keluarga yang besar tumbuh ketika Mahinda Rajapaksa menjabat sebagai presiden. Mahinda Rajapaksa mendapatkan pujian karena berhasil mengakhiri perang saudara di Sri Lanka, dengan kekalahan pemberontak Macan Tamil pada 2009.
Sekarang ada kekhawatiran kontrol keluarga atas fungsi-fungsi utama negara telah melemahkan lembaga independen, dan membuat pemerintah tidak dapat mengatasi krisis. Pemerintah memperkirakan, pandemi Covid-19 merugikan ekonomi Sri Lanka sebesar 14 miliar dolar AS dalam dua tahun terakhir.
Para pengunjuk rasa juga menuduh pemerintah telah salah urus keuangan negara. Sri Lanka memiliki utang luar negeri yang sangat besar, setelah banyak melakukan pinjaman untuk membangun infrastruktur dan proyek lain yang tidak menghasilkan uang. Kewajiban pembayaran utang luar negerinya sekitar 7 miliar dolar AS untuk tahun ini saja.
Utang dan cadangan devisa yang semakin menipis membuat Sri Lanka tidak mampu membayar barang-barang impor. Selama beberapa bulan, warga Sri Lanka telah mengalami antrean panjang untuk membeli bahan bakar, makanan, dan obat-obatan, yang sebagian besar berasal dari luar negeri dan dibayar dengan mata uang keras.
Kekurangan bahan bakar, bersama dengan kapasitas tenaga air yang lebih rendah dalam cuaca kering, telah menyebabkan pemadaman listrik bergilir yang berlangsung berjam-jam setiap hari. Bulan lalu, Rajapaksa mengatakan, pemerintahnya sedang dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), dan beralih ke China dan India untuk mendapatkan pinjaman. Di sisi lain, Rajapaksa juga mengimbau masyarakat untuk membatasi penggunaan bahan bakar dan listrik.