REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Sejak Lisa Troadec masuk Islam dan mulai mengenakan hijab hampir satu dekade lalu, wanita Prancis itu mengatakan dia telah menjadi target pelecehan verbal. Dia khawatir keterasingan yang dia rasakan semakin dalam jika pemimpin sayap kanan Marine Le Pen memenangi pemilihan presiden pada Ahad (24/4/2022).
Desakan Le Pen agar wanita Muslim dilarang mengenakan hijab di ruang publik, kata Troadec, akan menjadi tindakan diskriminasi terhadap Muslim seperti dirinya yang tunduk pada nilai-nilai sekularisme Prancis. "Saya benar-benar takut Le Pen menang," kata Troadec, yang menjalani bisnis perawatan anak di Paris.
"Jika itu terjadi, saya tak yakin seperti apa kehidupan ini di kemudian hari," imbuhnya.
Berharap bisa mencegah Le Pen meraih kekuasaan, dia akan memilih Macron, tapi dengan penuh keberatan dan keterpaksaan. Rekam jejak sang presiden terhadap Islam membuatnya sangat kecewa dan yakin bahwa sentimen anti-Muslim sedang bangkit di Prancis.
Data mendukung apa yang dia rasakan. Angka dari kementerian dalam negeri menunjukkan kenaikan tajam kasus diskriminasi dan tindakan anti-Muslim lainnya pada 2021, bahkan ketika kasus pada keyakinan lain mengalami penurunan. Dia menggambarkan memilih Le Pen atau Macron sebagai presiden seperti "pilihan antara Islamofobia dan Islamofobia".
Macron mengatakan dia akan melawan apa yang disebutnya "separatisme kaum Islam" dan membela sekularisme Prancis, yang dia katakan memberi hak kepada setiap orang untuk menjalani keyakinannya. Macron mengatakan dia menentang pelarangan simbol-simbol agama di ruang publik.
Le Pen ingin di ruang publik orang-orang dilarang pemakaian hijab, tapi mengizinkan simbol-simbol agama lain seperti kippa, tutup kepala Yahudi. Dia berjanji memerangi "ideologi Islam" yang disebutnya "totaliter".
Selama lima tahun terakhir, pemerintah Macron telah mengesahkan sejumlah undang-undang dan aturan untuk mengatasi ekstremisme agama dan menjaga nilai-nilai sekuler nasional. Namun hal itu telah membuat banyak Muslim seperti Troadec merasa Islamofobia sedang bangkit. Rekan Troadec, Sherazade Rouibah, mengatakan dirinya tahu bahwa tawaran Macron kepada pemilih Muslim dalam dua putaran pemilihan bersifat sinis.
Macron pekan lalu memberi ucapan selamat kepada seorang wanita muda Muslim di Strasbourg yang mengenakan hijab karena menyebut dirinya seorang feminis. "Ini seperti, 'Oh, selama lima tahun Anda menentang kami dan kini Anda tertarik dengan suara kami?' Dan yang terburuk adalah kami memilihnya karena Le Pen lebih buruk daripada dia," kata Rouibah sambil tertawa.
Jajak-jajak pendapat menunjukkan kecil peluang Le Pen memenangi pemilihan pada Ahad tapi bukan tidak mungkin. Pada 2017, ketika kedua kandidat saling berhadapan, Macron mengalahkan Le Pen dengan 66,1 persen suara. Yang jelas, pemilih Muslim tidak akan memilih Macron dalam satu blok. Persepsi bahwa Macron telah mengadopsi kebijakan sayap kanan dalam ekonomi dan politik identitas, bahwa dia "presiden kaum berada" dan jauh dari rakyat akan mendorong sebagian orang untuk memilih Le Pen, dan sebagian lainnya tidak memberikan suara.
"Ada orang yang akan memilih dia (Le Pen) dan yang mengatakan demikian," kata Troadec.
Di sebuah masjid di Villeurbanne, kawasan multietnik di pinggiran kota Lyon, Hedi Baiben, mengatakan banyak jamaah merasa berat untuk memilih Macron, bahkan jika menurutnya pilihan yang masuk akal adalah memilih yang bukan sayap kanan. "Sekarang ini sulit bagi jamaah masjid untuk memilih orang yang tidak mereka percaya," kata Baiben, anggota komunitas Muslim lokal sejak lama, sambil mengawasi kegiatan memasak hidangan buka puasa.
Imam masjid Villeurbanne, Azzedine Gaci, mengatakan dia dan tokoh-tokoh Muslim setempat meminta jamaah untuk mendukung Macron dalam pemilihan demi melindungi kebebasan beragama di Prancis. Dia menggambarkan manifesto Le Pen sebagai "sebuah proyek yang menyerukan kebencian terhadap Muslim, penutupan masjid dan selalu berbicara tentang Muslim siang dan malam". Suara bagi Macron bukan suara dukungan, kata dia, tapi cara mencegah sayap kanan berkuasa.