REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Mantan ketua Majelis Permusyawaratan Islam Iran Ali Motahari mengungkap hal baru terkait aktivitas nuklir negaranya. Dia mengonfirmasi bahwa Iran pernah berusaha mengembangkan bom nuklir, tapi proyek tersebut telanjur bocor.
"Sejak awal, ketika kami memasuki aktivitas nuklir, tujuan kami adalah membuat bom dan memperkuat pasukan pencegah, tapi kami tidak dapat menjaga kerahasiaan masalah ini, dan laporan rahasia diungkapkan oleh kelompok orang munafik," kata Motahari saat diwawancara Iscanews yang berbasis di Iran, Ahad (24/5/2022).
Dia mengungkapkan, negara yang ingin menggunakan tenaga nuklir secara damai tidak pernah memulai pengayaan uranium. Mereka biasanya mendirikan reaktor terlebih dulu, kemudian baru memasuki bidang pengayaan.
"Tapi fakta bahwa kami memperkaya secara langsung menciptakan ilusi bahwa kami ingin membuat bom," ujarnya.
Motahari menekankan, pendapat pemimpin Iran saat ini sudah jelas menyebut bahwa pengembangan bom nuklir adalah ilegal. Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei memang telah menyatakan, hukum penggunaan senjata kimia dan nuklir adalah haram atau dilarang.
Awal bulan ini, Presiden Iran Ebrahim Raisi mengatakan, negaranya akan melanjutkan kegiatan pengembangan nuklir. Hal itu karena pembicaraan tentang pemulihan kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) terhenti.
“Pengetahuan dan teknologi kita di bidang nuklir tidak bisa dibalik. Penelitian (lanjutan) Iran di bidang nuklir damai tidak akan bergantung pada tuntutan atau sudut pandang orang lain,” kata Raisi saat berbicara dalam upacara peringatan hari nasional teknologi Iran pada 9 April lalu.
Dalam upacara tersebut, Iran menunjukkan prestasi nuklir sipil barunya, termasuk beberapa isotop medis, pestisida pertanian, peralatan detoksifikasi, dan material bahan bakar nuklir. Iran memang telah lama menegaskan bahwa program nuklirnya memiliki tujuan damai, seperti menghasilkan tenaga listrik dan isotop medis.
Kepala Organisasi Energi Atom Iran Mohammad Eslami mengatakan, negaranya akan segera mengejar pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir baru dengan kapasitas 360 megawatt. Proyek itu bakal berlokasi di dekat kota Darkhovin di Provinsi Khuzestan.
Saat ini Iran memiliki satu pembangkit listrik tenaga nuklir yang terletak di kota pelabuhan Bushehr. Beroperasi sejak 2011, pembangkit tersebut mempunyai kapasitas 1.000 megawatt. Iran diketahui tengah terlibat negosiasi untuk membangkitkan kembali JCPOA. Namun pembicaraan yang sudah berlangsung sejak April 2021 di Jenewa, Swiss, itu terhenti.
JCPOA terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018. Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.