Jumat 29 Apr 2022 23:58 WIB

Pengamat Nilai Hasil Pemilu Prancis Jadi 'Kemenangan Besar' untuk Ukraina

Macron adalah pemimpin yang tetap membuka kemungkinan dialog dengan Moskow.

 Presiden Prancis Emmanuel Macron merayakan dengan para pendukungnya di Paris, Prancis, Minggu, 24 April 2022. Badan-badan pemungutan suara memproyeksikan bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan nyaman memenangkan pemilihan kembali hari Minggu dalam pemilihan presiden, menawarkan kepada pemilih Prancis dan Uni Eropa jaminan stabilitas kepemimpinan di satu-satunya kekuatan bersenjata nuklir blok itu ketika benua itu bergulat dengan invasi Rusia ke Ukraina.
Foto: AP/Christophe Ena
Presiden Prancis Emmanuel Macron merayakan dengan para pendukungnya di Paris, Prancis, Minggu, 24 April 2022. Badan-badan pemungutan suara memproyeksikan bahwa Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan nyaman memenangkan pemilihan kembali hari Minggu dalam pemilihan presiden, menawarkan kepada pemilih Prancis dan Uni Eropa jaminan stabilitas kepemimpinan di satu-satunya kekuatan bersenjata nuklir blok itu ketika benua itu bergulat dengan invasi Rusia ke Ukraina.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil pemilu Prancis yang memenangkan calon presiden petahana Emmanuel Macron dapat dilihat sebagai kemenangan bagi Ukraina. Menurut pengamat Ilmu Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sahid Algooth Putranto, ini mengingat sikapnya selama ini yang cenderung menentang tindakan invasi Rusia.

“Kemenangan petahana Presiden Macron dalam pemilu Prancis sangat penting karena menentukan konsistensi sikap Eropa Barat dan pakta pertahanan NATO secara umum terhadap invasi Rusia ke Ukraina,” kata dia di Jakarta, Jumat (29/4/2022).

Baca Juga

Ia mengatakan, posisi Prancis sangat vital mengingat beberapa hal. Pertama, secara geografis Prancis merupakan negara Eropa terbesar ketiga setelah Rusia dan Ukraina. Kedua, secara ekonomi, Prancis adalah salah satu negara yang menginisiasi terbentuknya lembaga Uni Eropa sebagai solusi pascaperang panjang di Eropa

Tidak hanya itu, lanjutnya, Prancis juga bukan hanya bagian dari ekonomi ‘regional’ Eropa dan struktur politik, tetapi juga telah diintegrasikan ke dalam sistem ‘global’. “Hasil pemilu Prancis memastikan dukungan Eropa Barat bagi Ukraina," kata Algooth.

Sebelum hasil pemilu diumumkan, lanjut Algooth, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan secara terbuka bahwa dialognya dengan Presiden Rusia Vladimir Putin telah terhenti setelah klaim pembunuhan massal ditemukan di Ukraina.

“Artinya Macron memiliki sikap yang lebih jelas dan tegas. Meski demikian, patut dicatat di antara pemimpin Eropa, Macron adalah pemimpin yang tetap membuka kemungkinan dialog dengan Moskow,” kata dia.

Pada sisi lain, Prancis tetap mengirimkan sejumlah artileri berat ke Ukraina bersamaan semakin banyak negara Barat yang mengirimkan persenjataan berat ke Kiev untuk membantu dalam melawan pasukan Moskow.

“Sikap Prancis yang tetap membuka pintu dialog namun memberikan bantuan militer kepada Ukraina tidak lepas dari sejarah Prancis yang unik dalam pakta pertahanan NATO. Mereka ini keras kepala dan tak mau kalah dengan Amerika Serikat,” ujar dia.

Ia mengatakan, tidak seperti negara lain yang ngebet bergabung dengan NATO, Prancis merupakan negara di Eropa yang paling memegang peranan penting dalam memobilisasi keamanan internasional baik melalui NATO dan PBB, dan merupakan satu di antara lima negara pemegang Hak Veto di PBB.

Peran Prancis dalam NATO tak terbantahkan karena merupakan satu dari sejumlah negara pendiri yang meneken perjanjian pakta NATO pada 4 April 1949 yang dibentuk karena adanya kekhawatiran negara-negara Eropa Barat dan Amerika akan ancaman keamanan dari dominasi Uni Soviet di wilayah Eropa yang dikhawatirkan dapat mengancam integritas dan stabilitas Benua Biru. 

Namun saat dipimpin Presiden Charles de Gaulle justru pernah memutuskan keluar dari komando NATO pada Maret 1966. Saat itu, de Gaulle bahkan memerintahkan pakta pertahanan itu menutup markas mereka di Prancis. 

"Alasannya, Prancis tidak ingin terjebak dalam konflik Blok Barat dan Blok Timur. Meski keluar dari komando NATO, Prancis tetap tergabung dengan NATO. Artinya Prancis tidak terlibat dalam perencanaan kebijakan NATO," kata dia.

Prancis kembali menjadi bagian anggota penuh NATO di masa Presiden Nicolas Sarkozy yang terpilih pada tahun 2007. Keputusan tersebut terhitung kontroversial karena pada 2003 Prancis menentang keras invasi Amerika Serikat ke Irak karena bermodalkan kabar tak teruji kebenarannya terkait senjata pemusnah massal atau weapon of mass destruction.

Dikutip dari Antara, Presiden petahana Prancis Emmanuel Macron memenangi pemilihan presiden (pilpres) dengan perolehan suara sebesar 58,6 persen, demikian menurut perkiraan hasil awal (exit poll) yang dirilis pada Ahad (24/4) malam waktu setempat oleh stasiun televisi Prancis BFMTV.

 

Rival Macron, kandidat sayap kanan ekstrem Marine Le Pen, meraih 41,4 persen suara, menurut data terbaru. Dalam acara kemenangannya, Macron memasuki Champs-de-Mars sambil menggandeng istrinya dan dikelilingi anak-anak muda, serta diiringi lagu kebangsaan Eropa, yakni "Ode to Joy" karya Beethoven.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement