REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Sebuah memo Kremlin yang bocor ke media menunjukkan prediksi bahwa perekonomian Rusia tengah berada dalam kondisi terburuk sejak era Soviet. Terlebih, Rusia terus menghadapi sanksi dari Barat setelah melancarkan invasi ke Ukraina.
Dalam dokumen tersebut, produk domestik bruto (GDP) Rusia diprediksi turun 12 persen pada 2022. Penurunan itu paling signifikan sejak Boris Yeltsin memimpin Rusia pada 1994 pada transisi pasca-Soviet.
Kementerian Keuangan Rusia masih bungkam soal situasi finansial negaranya. Faktanya, awal bulan ini Rusia berupaya menghindari default (gagal bayar) sejumlah utang luar negeri.
Itu pertama kalinya Rusia gagal memenuhi tenggat waktu untuk membayar utang sejak revolusi 1917. Rusia beralih ke cadangan dolar untuk membayar utang 526 juta poundsterling (sekitar Rp 9,41 triliun) kepada investor asing.
Negara tersebut batal membayar tagihannya menggunakan aset beku yang digunakan untuk membiayai upaya perangnya. Pasalnya, cara itu diblokir oleh sanksi Barat. Ketika akan membayar dalam mata uang rubel, investor menolaknya.
Laporan kementerian keuangan yang diungkap Bloomberg tersebut juga menunjukkan prospek yang lebih buruk daripada prediksi bank sentral dan Dana Moneter Internasional (IMF). Prediksi terakhir bank sentral dan IMF memproyeksikan penurunan ekonomi Rusia di angka 8,5 persen.
Akhir bulan lalu, Bank of Russia menyampaikan perkiraan kontraksi ekonomi antara delapan hingga 10 persen tahun ini. Sementara, survei yang dilakukan Bloomberg memunculkan angka 10,3 persen.
Berdasarkan catatan beberapa tahun silam, ekonomi Rusia menyusut 7,8 persen pada 2009 sebagai akibat dari krisis keuangan global. Perekonomian turun lagi sebesar tiga persen saat pandemi Covid-19 melanda dunia.
Kepala ekonom BCS FINancial Group di Moskow, Natalia Lavrova, mengatakan pemicu penurunan utama adalah kombinasi embargo minyak, penolakan Uni Eropa menerima gas Rusia, dan lebih banyak perusahaan asing yang hengkang dari negara tersebut.
"Semua itu mungkin akan berkembang secara bertahap, dengan banyak dampak negatif hingga 2023," ujar Lavrova, dikutip dari laman Express, Selasa (10/5/2022).