REPUBLIKA.CO.ID., ISTANBUL -- Dalam waktu kurang dari 50 tahun, peningkatan frekuensi cuaca ekstrem dapat membuat sepertiga orang di seluruh dunia mengungsi karena krisis iklim, kata seorang ilmuwan sosial Turki.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Suzan Ilik Bilben, seorang peneliti dari Migration Research Foundation di ibu kota Turki, Ankara, menekankan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan generasi mendatang serta komunitas yang rentan.
"Wilayah yang sangat panas, yang mencakup kurang dari 1 persen permukaan benua bumi, diperkirakan akan bertambah menjadi satu dari lima pada tahun 2070, berpotensi menggusur satu dari tiga orang," kata Bilben, yang sedang mengejar gelar Ph.D. dalam sosiologi, dengan fokus pada migran dan perubahan iklim.
Pola curah hujan yang tidak dapat diprediksi dan semakin tidak stabil, gelombang panas yang lebih kuat dan tahan lama, dan kekeringan yang lebih buruk juga membuat pertanian lebih sulit, ungkap dia.
Dengan meningkatnya dampak kelangkaan makanan dan air serta gelombang panas pada masyarakat, gerakan migrasi massal kemungkinan akan tumbuh lebih sering, kata Bilben, yang tengah menjadi peneliti di Universitas Akdeniz di Antalya, di wilayah Mediterania Turki.
Mengenai kemungkinan rute migrasi iklim, dia mengatakan bahwa hampir 143 juta orang yang tinggal di iklim panas di Amerika Latin, Asia Selatan, dan Afrika Sub-Sahara akan mengungsi karena perubahan iklim memicu frekuensi dan tingkat keparahan peristiwa cuaca ekstrem.
Selain kekeringan dan kerawanan pangan, lebih dari 150 juta orang di seluruh dunia dapat mengungsi karena kenaikan permukaan laut, kata Bilben. Dia juga mengatakan bahwa Turki bisa menjadi negara ketiga yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim, karena terletak di cekungan Mediterania, yang merupakan salah satu daerah yang lebih rapuh.