REPUBLIKA,CO.ID., GAZA -- Setahun yang lalu, Israel melancarkan serangan militer mematikan selama 11 hari ke Jalur Gaza yang meninggalkan jejak kehancuran di seluruh wilayah Palestina. Satu tahun setelah serangan itu, warga Palestina belum pulih dari dampak perang yang memperburuk kondisi ekonomi bagi dua juta penduduk di wilayah itu.
Sekitar 250 warga Palestina tewas dan ribuan terluka dalam ratusan serangan udara Israel di Gaza selama perang tersebut. Tiga belas warga Israel juga tewas dalam tembakan roket Palestina dari Gaza selama konflik. Menurut otoritas lokal di Gaza, serangan Israel telah menyebabkan kerugian materi sekitar 479 juta dolar AS.
Konflik meletus dengan latar belakang ketegangan di Yerusalem Timur yang diduduki Israel atas keputusan pengadilan Israel untuk mengusir sejumlah keluarga Palestina dari rumah mereka di lingkungan Sheikh Jarrah demi kepentingan pemukim Yahudi.
Selama perang Israel, Palestina telah melaporkan setidaknya 19 pembantaian Israel di mana 91 warga sipil Palestina tewas, termasuk 41 anak-anak dan 25 wanita. Kekerasan, yang terburuk dalam beberapa tahun, berhenti pada 21 Mei 2021 di bawah gencatan senjata yang ditengahi Mesir.
Kondisi bencana
Kantor Informasi Palestina memperkirakan bahwa lebih dari 120.000 orang mengungsi dari rumah mereka akibat serangan Israel itu. Sedikitnya 300 bangunan tempat tinggal juga hancur akibat serangan Israel selain 2.075 unit rumah yang rusak seluruhnya dan 15.000 lainnya rusak sebagian.
Sekitar 24 pusat kesehatan, 46 sekolah, 490 fasilitas pertanian dan 300 fasilitas ekonomi juga rusak dalam serangan itu, menurut sumber yang sama. Sebanyak 42 bangunan media dihancurkan lebih lanjut, terutama kantor saluran berita Al Jazeera yang berpusat di Qatar dan kantor berita Amerika Associated Press.
Mustafa Ibrahim, seorang analis politik Palestina, mengatakan penduduk Gaza masih hidup dalam kondisi ekonomi yang sangat sulit satu tahun setelah perang Israel.
“Dampak agresi Israel masih terlihat di tengah proses rekonstruksi yang lambat di Gaza,” kata dia kepada Anadolu Agency.
Analis politik tersebut menyalahkan lambatnya proses rekonstruksi atas “kegagalan negara-negara donor untuk memenuhi janji mereka.”
“Peran negara-negara Arab dalam proses rekonstruksi Gaza juga berkurang,” ungkap dia.
Hukuman kolektif
Analis politik itu juga mengatakan pengepungan Israel selama bertahun-tahun di Gaza dan pembatasan yang diberlakukan oleh Tel Aviv harus disalahkan atas proses rekonstruksi yang lambat di Gaza.
Gaza telah terhuyung-huyung di bawah blokade Israel yang melumpuhkan sejak 2007 ketika kelompok Palestina Hamas menguasai wilayah tepi laut dari Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah.
“Perpecahan antar kelompok Palestina yang sedang berlangsung juga berdampak negatif terhadap kondisi di wilayah Palestina, khususnya Gaza,” kata Ibrahim.
“Setiap penundaan dalam proses rekonstruksi dianggap sebagai hukuman kolektif terhadap warga sipil di Gaza,” ujar dia.
Ibrahim mencatat bahwa kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok dunia akibat perang Ukraina menambah lebih banyak tekanan pada warga Palestina yang miskin di Gaza.
“Krisis ini telah mempengaruhi semua negara, termasuk negara-negara kaya,” ujar dia, seraya memperingatkan kondisi “bencana” di Gaza jika krisis kemanusiaan saat ini berlanjut.
Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, tingkat pengangguran Gaza mencapai 47 persen.
“Berlanjutnya krisis kemanusiaan selain kemiskinan dan pengangguran dapat mendorong kondisi buruk di Gaza kian parah,” tukas Ibrahim.