Miliarder Elon Musk berjanji untuk membatalkan larangan permanen Twitter terhadap mantan Presiden AS Donald Trump jika akuisisi platform media sosial itu berhasil.
Pendiri SpaceX sekaligus CEO Tesla itu membeli Twitter seharga $44 juta (Rp635,8 triliun), tetapi kesepakatan tersebut masih harus mendapat dukungan dari pemegang saham dan regulator keuangan.
Musk sebut blokir Twitter terhadap Trump 'sangat bodoh'
Berbicara dalam Financial Times Future of the Car Summit, Musk menyebut pemblokiran terhadap akun Trump itu sebagai "keputusan yang salah secara moral" dan "sangat bodoh."
"Saya pikir itu adalah kesalahan karena mengasingkan bagian besar sebuah negara dan pada akhirnya tidak membuat Trump tidak memiliki suara," kata Musk. "Jadi saya pikir ini akan berakhir menjadi lebih buruk, daripada memiliki satu forum di mana semua orang dapat berdebat. Saya kira jawabannya adalah saya akan membatalkan larangan permanen itu."
Musk telah mengisyaratkan akan melonggarkan kebijakan moderasi konten jika dia menguasai Twitter, dengan mengklaim bahwa kebijakan itu merugikan kebebasan berbicara.
Mengapa Twitter memblokir Trump?
Twitter memblokir akun Trump pada Januari 2021 setelah kerusuhan di US Capitol. Pendukung Trump berusaha menyerbu gedung itu sebagai upaya untuk menghentikan sertifikasi pemilihan presiden 2020, di mana kemenangan diraih oleh Joe Biden.
Trump sering mencerca hasil pemilu di Twitter dan secara keliru mengklaim bahwa terjadi kecurangan. Tuduhan bahwa Trump telah menghasut kekerasan di Capitol lewat postingan media sosialnya menyebabkan parlemen AS memakzulkan presiden untuk kedua kalinya.
Bahkan jika Musk berhasil menguasai Twitter, Trump sebelumnya telah mengisyaratkan bahwa dia tidak akan bergabung kembali dengan platform tersebut. Mantan presiden itu mengatakan dia lebih suka memfokuskan waktunya pada media sosialnya sendiri, Truth Social.
Pro kontra terhadap pernyataan Musk
Angelo Carusone, kepala pengawas berhaluan kiri Media Matters, mengatakan rencana Musk untuk mengembalikan Trump akan menjadi langkah pertama dalam membuka "gerbang kebencian dan disinformasi" di media sosial.
Di sisi lain, Direktur American Civil Liberties Union Anthony Romero mengatakan "keputusan untuk mencabut blokir Trump adalah keputusan yang tepat."
"Suka atau tidak, mantan Presiden Trump adalah salah satu tokoh politik terpenting di negara ini dan publik memiliki minat yang besar untuk mendengarkan pidatonya," kata Romero.
Selama masa kepresidenannya, Trump mengumumkan perintah eksekutif melalui Twitter, memecat anggota kabinet, dan mencemooh para kritikus dan tokoh utama Partai Demokrat, seperti mantan Wakil Presiden Hillary Clinton dan Ketua DPR Nancy Pelosi.
Selain menyebarkan kebohongan, cuitannya menuai kritik karena menggunakan retorika rasis dan seksis.
ha/pkp (Reuters, AP, AFP)