REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS – Sekitar 100 ribu anak Suriah diprediksi akan kehilangan pendidikan mereka karena dana bantuan internasional yang dipotong. Padahal selama ini anak-anak bergantung pada dana bantuan itu karena negara tersebut sedang dilanda perang.
Sebuah laporan yang dirilis pada akhir April oleh Action For Humanity, badan amal induk LSM Inggris Syria Relief, menemukan bahwa lebih dari 40 ribu anak tidak lagi mengenyam pendidikan karena kehilangan dana dari pemerintah Inggris. Beberapa hari kemudian, LSM menyatakan kekecewaannya pada kurangnya bantuan yang dijanjikan pada konferensi bantuan internasional yang dipimpin Uni Eropa untuk Suriah. Konferensi tersebut mengumpulkan Rp 87 triliun untuk Suriah dan negara-negara tetangga tetapi ini tetap kekurangan besar untuk mendanai bantuan anak-anak.
“Tampaknya, sekali lagi, komunitas internasional telah melupakan anak-anak di Suriah yang sangat membutuhkan dana untuk kelangsungan hidup, pembelajaran, dan perlindungan mereka,” kata Direktur Save the Children Syria Response Office, Sonia Khush setelah konferensi bantuan internasional untuk Suriah dilansir dari The New Arab, Kamis (12/5/2022).
“Jumlah Rp 87 triliun sangat tidak memadai dan jauh dari apa yang dibutuhkan untuk mendukung 6,5 juta anak-anak di Suriah, serta anak-anak Suriah di negara-negara tetangga,” lanjut Kush.
Action for Humanity mengatakan keputusan pemerintah Inggris tahun lalu untuk mengurangi pengeluaran bantuan luar negeri dari 0,7 persen menjadi 0,5 persen telah berkontribusi pada potensi krisis pendidikan. Bahkan menurut mereka ini kemungkinan akan memiliki efek bencana.
"Akan ada peningkatan segera dalam pekerja anak, pernikahan anak, kehamilan dini, wajib militer anak untuk kelompok militer dan bersenjata, eksploitasi anak, dan perdagangan anak," kata badan amal itu dalam laporannya.
"Orang tua secara terbuka mengakui mempertimbangkan mengirim anak-anak mereka untuk bekerja atau memaksa anak perempuan mereka menikah dini jika mereka tidak dapat bersekolah," tambah mereka.
Bantuan dan Aksi Suriah untuk Kemanusiaan mengatakan 133 sekolah yang mereka kelola harus ditutup dalam waktu kurang dari satu tahun. Mereka meminta pemerintah Inggris untuk segera membalikkan pemotongan anggaran bantuan dan pendanaan untuk Suriah.
Menyusul pemberontakan Suriah 2011, di mana rezim Presiden Bashar Al-Assad secara brutal menindak pengunjuk rasa pro-demokrasi, Suriah telah mengalami krisis ekonomi yang menghancurkan. Ratusan ribu - kebanyakan warga sipil - telah tewas dalam serangan kejam rezim di daerah oposisi. Sekitar 80 persen warga Suriah telah jatuh ke dalam kemiskinan, dengan banyak yang masih menghadapi kelaparan.