REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Koordinator Kemanusiaan Yayasan Geutanyoe Nasruddin mengatakan bahwa berbagai upaya bantuan kemanusiaan telah dilakukan untuk membantu para pengungsi dari luar negeri yang terlantar di Indonesia. Hal ini tetap dilakukan meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi International Tahun 1951 Tentang Pengungsi.
"Termasuk diantaranya kerja sama dengan berbagai pihak untuk proses pendaratan pengungsi yang membutuhkan waktu cukup lama, kerentanan para pengungsi, serta ancaman yang dihadapi oleh para pejuang kemanusiaan dalam upaya tersebut," kata Nasruddin dalam diskusi tentang pengungsi luar negeri pada Jumat, (3/6/2022).
Nasrduddin menilai pemerintah Indonesia harus melihat masalah pengungsi ini dalam kerangka kemanusiaan, alih-alih menggunakan kaca mata hukum formal. Sebab meski Indonesia belum meratifikasi Konvensi International Tahun 1951 Tentang Pengungsi, namun Indonesia masih menjadi negara transit yang paling sering didatangi oleh pengungsi dari luar negeri, khususnya dari Afghanistan, Myanmar, Irak, dan lain sebagainya.
"Pertama, pengungsi yang datang sering kali dalam kondisi yang buruk dan memprihatinkan. Bagi pengungsi Rohingya semisal, untuk berhasil keluar dengan selamat dari negara asalnya sudah menjadi sebuah pencapaian," kata periset Yayasan Geutanyoe, Affan Ramli.
Menurut Affan, memperoleh dokumen keimigrasian yang lengkap merupakan hal yang tidak mungkin dipenuhi. Dengan sendirinya mereka menjadi undocumented immigrant atau imigran tidak berdokumen. Kedua, para pengungsi membutuhkan akses terhadap kesehatan dan pendidikan yang layak, khususnya bagi perempuan dan anak-anak.
"Hal tersebut sangat sulit dilakukan karena keterbatasan dokumen yang dimiliki pengungsi, di satu sisi, ini merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi," kata Affan.
Ketiga, ia menuturkan bahwa sebagai manusia, para pengungsi perlu untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, serta pekerjaan merupakan perwujudan eksistensi yang mendefinisikan siapa manusia tersebut. Menurutnya, kerangka hukum formal belum mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut, sebaliknya, nilai-nilai hak asasi manusia menjadi sebuah titik berangkat yang tepat untuk bisa menyelesaikan tantangan tersebut.
Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri merupakan upaya yang baik dari Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah pengungsi dari luar negeri. Namun, Peraturan Presiden tersebut belum menjawab tantangan secara komprehensif dan oleh sebab itu, menurutnya dibutuhkan penguatan nilai-nilai hak asasi manusia dalam prinsip penerapanya.
"Karenanya, kami mengajak teman-teman pers untuk duduk bersama mendiskusikan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam isu pengungsi luar negeri, serta memperkuat diskursus hak asasi manusia dalam pemberitaan media, khususnya dalam menjalankan peran kontrol sosial dan pendidikan kepada masyarakat," kata Affan.
Berdasarkan data UNHCR, sedikitnya 14 ribu pengungsi dari luar negeri yang teregistrasi berada di Indonesia, apabila termasuk yang belum teregistrasi, maka angka tersebut menjadi lebih banyak. Para pengungsi tersebar di beberapa titik seluruh Indonesia, khususnya ditempatkan di Rumah Detensi Imgrasi (Rudemim) atau akomodasi yang disiapkan oleh IOM.
Beberapa faktor utama yang mendorong para pengungsi meninggalkan negaranya adalah perang, persekusi terhadap etnis tertentu, dan konflik horizontal. Tujuan utama para pengungsi untuk meninggalkan negara asalnya adalah mencari keselamatan, keamanan, perlindungan, dan kehidupan yang layak, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.
"Namun, berada di Indonesia masih “Jauh Panggang dari Api”. Beberapa hak-hak dasar seperti mendapatkan pendidikan, mengakses kesehatan, dan bekerja masih belum bisa didapatkan oleh para pengungsi dari luar," kata Affan.
Lebih jauh lagi, para pengungsi dilarang meninggalkan tempat penampungan, yang sejatinya itu merupakan hak untuk mobilitas (freedom of movement). Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan justru menimbulkan masalah kemanusiaan baru.