REPUBLIKA.CO.ID, DOHA – Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman Al Thani telah meminta Amerika Serikat (AS) dan Iran menghidupkan kembali kesepakatan nuklir 2015 atau dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Menurut dia, kesepakatan tersebut bisa menjaga perdamaian dan keamanan di kawasan serta prospek kerja sama regional lebih luas dengan Iran.
Saat diwawancara stasiun televisi Aljazirah, Al Thani mengungkapkan dia sudah melakukan pembicaraan dengan Iran dan AS untuk membantu mereka dalam menyelesaikan proses pemulihan JCPOA. Dalam wawancara itu, dia pun membantah kabar yang menyebut bahwa pembicaraan telah gagal.
“Saya berbicara dengan Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken tentang pembicaraan nuklir Iran dan prospek mencapai kesepakatan,” ucapnya, dikutip laman Iran Front Page, Selasa (7/6/2022).
Selain soal JCPOA, saat berbicara dengan Blinken, Al Thani turut membahas sejumlah isu lainnya, seperti Afghanistan, Palestina, dan krisis pangan serta energi global akibat konflik Rusia-Ukraina. Sebelumnya Al Thani sempat menyampaikan bahwa kepemimpinan Iran siap mengompromikan pemulihan JCPOA. Dia berpendapat, pemulihan JCPOA dapat membantu pasokan ke pasar minyak global.
“Memompa jumlah tambahan minyak Iran ke pasar akan membantu menstabilkan harga minyak mentah dan mengurangi inflasi,” ucapnya pada 21 Mei lalu.
Namun Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Iran mengoreksi pernyataan Al-Thani soal “kompromi” dalam pemulihan JCPOA. Menurut Kemenlu Iran, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei tak pernah menyatakan hal demikian saat bertemu Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani awal Mei lalu.
“Pemimpin Tertinggi (Iran) tidak membuat pernyataan tentang kompromi, tetapi mengatakan kepada Emir Qatar: ‘Kami selalu mengatakan bahwa negosiasi harus produktif dan tidak membuang-buang waktu. Orang Amerika tahu apa yang harus dilakukan mengenai hal ini,” kata juru bicara Kemenlu Iran Saeed Khatibzadeh saat diwawancara kantor berita Tasnim.
“Jelas dari konteks pernyataan Pemimpin (Khamenei) bahwa (maksudnya) adalah bola ada di pengadilan Amerika Serikat (AS), yang harus membuat keputusan politik yang bijaksana untuk memenuhi kewajibannya,” ujar Khatibzadeh.
Pada 10 Mei lalu, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengungkapkan, AS masih berharap mencapai kesepakatan dengan Iran untuk menghidupkan kembali JCPOA. Meski pembicaraan telah terhenti selama berminggu-minggu, Washington tetap menganggap pemulihan JCPOA sebagai kepentingan terbaiknya
Dia menekankan, memulihkan JCPOA adalah salah satu cara mencegah Iran mengembangkan senjata nuklir. AS sudah mendiskusikan rencana alternatif dengan para mitra dan sekutunya jika tidak ada kesepakatan tercapai. JCPOA terancam bubar setelah mantan presiden AS Donald Trump menarik negaranya dari kesepakatan tersebut pada November 2018.
Trump berpandangan JCPOA "cacat" karena tak turut mengatur tentang program rudal balistik dan peran Iran di kawasan. Trump kemudian memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Teheran. Sejak saat itu Iran tak mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam JCPOA, termasuk perihal pengayaan uranium.