REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Perdana Menteri Australia Anthony Albanese menyerukan China mencabut sanksi terhadap negaranya. Menurutnya, hal itu perlu dilakukan agar hubungan kedua negara bisa ditingkatkan kembali.
"China yang memberlakukan sanksi terhadap Australia. Mereka perlu menghapus sanksi itu untuk meningkatkan hubungan," kata Albanese kepada awak media di Brisbane, Selasa (14/6/2022).
Dia tak menampik pentingnya perdagangan dengan China untuk perekonomian Australia. Beijing merupakan mitra dagang terbesar Negeri Kanguru. China juga menjadi pasar utama dari ekspor terbesar Australia, yakni bijih besi.
Albanese mengapresiasi pertemuan baru-baru ini antara Menteri Pertahanan (Menhan) Australia Richard Marles dan Menhan China Wei Fenghe di sela-sela forum Shangri-La Dialogue yang digelar di Singapura pekan lalu. Menurutnya, pertemuan tersebut merupakan hal baik.
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) China, pada Senin (13/6/2022), mengungkapkan, Albanese telah menanggapi ucapan selamat dari Perdana Menteri China Li Keqiang atas kemenangannya dalam pemilu Australia bulan lalu. Sama seperti Albanese, Beijing juga ingin melihat langkah atau tindakan untuk memperbaiki hubungan bilateral dengan Canberra.
"Untuk meningkatkan hubungan China-Australia, tidak ada mode 'auto-pilot’. Penyetelan ulang memerlukan tindakan nyata," kata juru bicara Kemenlu China Wang Wenbin dalam jumpa pers reguler di Beijing. Dia tidak merinci tindakan semacam apa yang diinginkan China.
Dalam menjatuhkan sanksinya, China mencantumkan 14 keluhan terhadap Australia, antara lain seruannya untuk penyelidikan internasional tentang asal-usul Covid-19, larangan raksasa telekomunikasi China Huawei membangun jaringan 5G, dan menyaring investasi asing untuk risiko keamanan nasional. Pemerintahan Australia sebelumnya yang dipimpin mantan perdana menteri Scott Morrison menggambarkan sanksi China terhadap pertanian dan komoditas energinya sebagai “paksaan ekonomi”.