REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sekitar 14,4 juta orang di Myanmar, atau sekitar seperempat dari populasi negara itu, "sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan," kata Noeleen Heyzer, perwakilan Sekretaris Jenderal PBB Atonio Guterres, pada Senin (13/6/2022).
Berbicara di Majelis Umum, Heyzer mengatakan kudeta oleh junta militer terhadap pemerintah yang dipilih secara demokratis pada Februari 2021 "telah membuka garis depan baru yang telah lama damai," dan dia memperingatkan kekerasan etnis yang meningkat dan lebih dari 1 juta orang yang mengungsi sekarang terlantar.
"Krisis ini telah mengakibatkan runtuhnya lembaga-lembaga negara, secara signifikan mengganggu infrastruktur sosial dan ekonomi penting seperti kesehatan, pendidikan, perbankan dan keuangan, ketahanan pangan dan lapangan kerja, serta meningkatkan kriminalitas dan kegiatan terlarang," kata Heyzer.
"Rakyat Myanmar menghadapi penderitaan yang hebat dari krisis multidimensi ini," imbuh dia.
Kudeta militer disambut oleh kerusuhan massal ketika masyarakat memprotes pemulihan kekuasaan militer di Myanmar. Junta menindak keras demonstran ketika PBB berulang kali memperingatkan negara itu menghadapi perang saudara.
Pasukan Junta sejak itu telah membunuh hampir 2.000 orang dalam tindakan keras terhadap perbedaan pendapat, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pemantau HAM lokal.
Kerusuhan dan penderitaan massal telah menyebabkan banyak orang di Myanmar melakukan kekerasan, kata Heyzer.
"Sebuah generasi yang diuntungkan dari transisi demokrasi sekarang kecewa, menghadapi kesulitan kronis dan, tragisnya, banyak yang merasa tidak punya pilihan selain mengangkat senjata," ucap dia.
“Konflik bersenjata sekarang telah menjadi norma, dan ketidakpercayaan di antara para pemangku kepentingan. Dalam situasi zero-sum ini, ada “bagian tengah yang hilang” dengan sedikit ruang untuk mengadvokasi pengurangan kekerasan," ujarnya.