REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Miraj Madushanka tidak pernah berpikir akan membutuhkan jatah bantuan pemerintah untuk memastikan keluarganya bisa makan dua kali sehari. Hanya saja, krisis ekonomi Sri Lanka telah mengubah hidupnya dan banyak orang lain di kelas menengah yang sedang berkembang.
Keluarga yang sebelumnya tidak pernah berpikir dua kali tentang bahan bakar atau makanan sedang berjuang untuk mengatur makan dan mengurangi porsi. Berhari-hari dihabiskan untuk mengantre untuk membeli bahan bakar yang langka.
Krisis terburuk ini telah menggagalkan upaya selama bertahun-tahun menuju gaya hidup yang relatif nyaman dan dicita-citakan di seluruh Asia Selatan. Sebuah negara kepulauan berpenduduk 22 juta sedang menuju kebangkrutan setelah mengumpulkan 51 miliar dolar AS utang luar negeri. Hampir tidak ada uang untuk mengimpor barang-barang seperti bensin, susu, dan gas untuk memasak.
Kondisi yang menghancurkan ini pun dirasakan Madushanka, seorang akuntan berusia 27 tahun yang belajar di Jepang. Dia pindah kembali ke Sri Lanka pada 2018 setelah ayahnya meninggal, untuk menjaga ibu dan saudara perempuannya.
Madushanka menyelesaikan studinya dan mendapatkan pekerjaan di bidang pariwisata, tetapi kehilangan pekerjaan itu di bawah bayang-bayang serangan teror 2019 yang mengguncang negara dan ekonominya. Pekerjaan berikutnya menguap selama pandemi.
Madushanka sekarang bekerja untuk sebuah perusahaan manajemen, pekerjaan keempatnya dalam empat tahun. Bahkan dengan gaji yang dapat diandalkan, dia hampir tidak bisa menghidupi keluarganya.
Harga pangan naik tiga kali lipat dalam beberapa pekan terakhir, memaksa keluarga tersebut untuk mencari bantuan beras dari pemerintah dan sumbangan dari kuil dan masjid terdekat. Tabungan Madushanka habis.
"Saat ini, hanya ada cukup untuk bertahan hidup, jika ada bulan di mana kami tidak mendapatkan manfaat tambahan dari luar, kami harus bertahan entah bagaimana,” kata Madushanka.
Bahkan krisis di masa lalu, seperti perang saudara selama hampir 30 tahun di Sri Lanka yang berakhir pada 2009 atau tsunami 2004 yang menghancurkan, tidak menyebabkan tingkat rasa sakit atau kesedihan seperti sekarang. Sampai saat ini, kelas menengah Sri Lanka yang diperkirakan oleh para ahli antara 15 hingga 20 persen dari populasi perkotaan negara itu, umumnya menikmati keamanan dan kenyamanan ekonomi.
"Krisis ini benar-benar mengejutkan kelas menengah, itu telah memaksa mereka ke dalam kesulitan yang tidak pernah mereka alami sebelumnya, seperti mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok, tidak tahu apakah mereka bisa mendapatkan bahan bakar meskipun harus mengantre berjam-jam," kata peneliti senior di Centre for Policy Alternatives di Kolombo Bhavani Fonseka.
"Mereka benar-benar tersentak tidak seperti waktu lain dalam tiga dekade terakhir," ujarnya.
Kelas menengah Sri Lanka mulai membengkak pada 1970-an setelah ekonomi negara itu terbuka dengan lebih banyak perdagangan dan investasi. Kelompok ini telah tumbuh dengan mantap sejak itu, dengan PDB per kapita Sri Lanka melonjak lebih tinggi daripada banyak negara tetangganya.
"Ambisinya adalah memiliki rumah dan mobil, dapat menyekolahkan anak-anak Anda ke sekolah yang bagus, makan di luar setiap beberapa minggu dan berlibur ke sana-sini. Namun, sekarang kelas menengah seperti kehilangan mimpinya," kata ekonom Chayu Damsinghe.
"Jika kelas menengah berjuang seperti ini, bayangkan betapa terpukulnya mereka yang lebih rentan,” katanya.