REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Bagi Lam Wing-kee datang ke Taiwan adalah langkah logis. Dia adalah pemilik toko buku Hong Kong yang ditahan polisi di China selama lima bulan karena menjual buku sensitif tentang Partai Komunis.
Sebuah pulau yang hanya berjarak 640 kilometer dari Hong Kong, Taiwan dekat tidak hanya secara geografis tetapi juga secara bahasa dan budaya. Wilayah itu menawarkan kebebasan yang biasa dialami dan dilihat banyak warga Hong Kong mulai menghilang di kampung halaman.
Kepindahan Lam ke Taiwan pada 2019 menandakan gelombang migrasi akibat cengkraman ketat pemerintah pusat China dan Partai Komunis yang telah lama berkuasa. "Bukannya Hong Kong tidak memiliki demokrasi, bahkan tidak memiliki kebebasan,” kata Lam.
"Ketika Inggris memerintah Hong Kong, mereka tidak memberi kami demokrasi sejati atau kekuatan untuk memilih, tetapi Inggris memberi Hong Kong ruang yang sangat besar untuk bebas," katanya.
Para pemimpin Hong Kong dan China pekan depan akan menandai peringatan 25 tahun kembalinya Hong Kong ke Daratan. Pada saat penyerahan kekuasan, beberapa orang bersedia memberi China kesempatan.
Beijing telah berjanji untuk memerintah kota itu dalam kerangka "satu negara, dua sistem" selama 50 tahun. Artinya Hong Kong akan mempertahankan sistem hukum dan politiknya sendiri serta kebebasan berbicara yang tidak ada di Daratan.
Tapi, dalam beberapa dekade berikutnya, ketegangan yang berkembang antara nilai-nilai liberal gaya Barat dan sistem politik otoriter Cina daratan memuncak dalam protes pro-demokrasi yang eksplosif pada 2019. Setelah itu, Beijing memberlakukan undang-undang keamanan nasional yang telah membuat para aktivis dan lainnya takut ditangkap karena berbicara.
Hong Kong masih tampak sama, mal-mal buka, gedung pencakar langit berkilauan. Hanya saja, artis terkenal Kacey Wong yang pindah ke Taiwan tahun lalu mengatakan, dia terus-menerus khawatir tentang penangkapannya atau teman-temannya, beberapa di antaranya sekarang berada di penjara.
"Dari luar masih asri, matahari terbenam di pelabuhan. Tapi itu adalah ilusi yang membuat Anda berpikir Anda masih bebas. Pada kenyataannya Anda tidak, pemerintah mengawasi Anda dan diam-diam mengikuti Anda," ujar Kacey.
Meski Wong merasa aman di Taiwan, hidup sebagai orang buangan tidaklah mudah. Terlepas dari kemiripannya dengan Hong Kong, Wong menemukan rumah barunya seperti tempat asing.
Wong tidak berbicara bahasa Taiwan, dialek Fujian yang banyak digunakan. Pulau yang santai sangat kontras dengan ibukota keuangan yang bergerak cepat.
Selama enam bulan pertama terasa berat bagi Wong. Ketika bepergian sebagai turis ke Taiwan benar-benar berbeda saat tinggal di pulau itu dalam pengasingan yang dipaksakan.
"Saya belum mendapatkan keterikatan dengan tempat, dengan jalan-jalan, dengan orang-orang, dengan bahasa, dengan toko di lantai bawah," kata Wong.
Selain itu, para warga Hong Kong yang berpindah ini pun kesulitan menavigasi sistem yang tidak memiliki undang-undang atau mekanisme yang ditetapkan untuk pengungsi dan pencari suaka. Masalah itu semakin diperumit oleh meningkatnya kewaspadaan Taiwan terhadap risiko keamanan yang ditimbulkan oleh China yang mengklaim pulau itu sebagai provinsi pemberontaknya serta pengaruh daratan yang semakin besar di Hong Kong.
Dalam sekitar satu tahun terakhir, beberapa telah memilih untuk meninggalkan Taiwan, dengan alasan jalur imigrasi yang lebih jelas di Inggris dan Kanada. Meskipun pindah ke negara yang lebih jauh ini memiliki jurang pemisah yang lebih besar dalam bahasa dan budaya.
Wong mengatakan, Taiwan telah melewatkan kesempatan emas untuk menjaga orang-orang berbakat dari Hong Kong. "Kebijakan dan tindakan, dan apa ... yang dilakukan pemerintah tidak cukup proaktif dan menyebabkan ketidakpastian pada orang-orang ini, itu sebabnya mereka pergi," katanya.
Dewan Urusan Daratan Taiwan mengatakan, menemukan beberapa migran dari Hong Kong menyewa perusahaan imigrasi yang menggunakan metode ilegal. "Kami di Taiwan, juga memiliki kebutuhan keamanan nasional,” wakil menteri di Dewan Urusan Daratan Chiu Chui-cheng mengatakan pada program TV pekan lalu.
“Tentu saja kami juga ingin membantu Hong Kong, kami selalu mendukung warga Hong Kong dalam mendukung kebebasan, demokrasi, dan supremasi hukum," katanya.
Menurut Badan Imigrasi Nasional Taiwan, sekitar 11.000 warga Hong Kong mendapat izin tinggal di Taiwan tahun lalu dan 1.600 bisa mendapatkan tempat tinggal permanen. Inggris memberikan 97.000 aplikasi kepada pemegang paspor British National Overseas Hong Kong tahun lalu sebagai tanggapan atas tindakan keras Cina.