Senin 27 Jun 2022 20:20 WIB

Penyintas Gempa Afghanistan Lebih Butuh Bantuan Uang Tunai

Penyintas gempa Afganistan lebih membutuhkan bantuan uang tunai daripada barang.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
 Gadis Afganistan berdiri di halaman rumahnya yang hancur setelah gempa bumi di distrik Gayan di provinsi Paktika, Afganistan, Ahad, 26 Juni 2022. Gempa kuat melanda wilayah pegunungan berbatu di Afganistan timur Rabu pagi, meratakan batu dan bata lumpur. rumah di gempa paling mematikan di negara itu dalam dua dekade, kantor berita pemerintah melaporkan.
Foto: AP/Ebrahim Noroozi
Gadis Afganistan berdiri di halaman rumahnya yang hancur setelah gempa bumi di distrik Gayan di provinsi Paktika, Afganistan, Ahad, 26 Juni 2022. Gempa kuat melanda wilayah pegunungan berbatu di Afganistan timur Rabu pagi, meratakan batu dan bata lumpur. rumah di gempa paling mematikan di negara itu dalam dua dekade, kantor berita pemerintah melaporkan.

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Masyarakat Bulan Sabit Merah Afghanistan (ARCS) pada Senin (27/6/2022) mengatakan, para penyintas gempa lebih membutuhkan bantuan uang tunai daripada barang. Wakil Kepala ARCS, Mullah Noordden Turaby, mengatakan, ARCS tidak memiliki tempat untuk menyimpan makanan dan mereka memiliki tenda yang cukup untuk berlindung.

Turaby mengatakan, uang tunai akan lebih berguna bagi para penyintas yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan. Sementara ARCS dapat membantu mendistribusikan uang jika para donor khawatir tentang transparansi.

"Orang-orang membutuhkan uang tunai di daerah itu, mereka mengatakan bahwa mereka telah menerima cukup bantuan," kata Turaby dalam konferensi pers di Kabul.

PBB dan beberapa negara lain telah mengirimkan bantuan berupa barang ke daerah yang terkena dampak. Kantor kemanusiaan PBB melaporkan, kekurangan tenda telah dipenuhi. Selain itu, berbagai bantuan termasuk makanan, peralatan kebersihan dan uang tunai telah didistribusikan. Namun, beberapa masalah logistik tetap ada termasuk komunikasi yang terbatas akibat jaringan telepon seluler yang terputus dan kondisi jalan yang buruk di beberapa daerah.

Gempa berkekuaran 6,1 skala ritcher melanda wilayah tenggara terpencil dekat perbatasan Pakistan pada Rabu pekan lalu. Gempa ini menewaskan sedikitnya 1.000 orang, melukai 2.000 lainnyaz dan menghancurkan 10.000 rumah. Kantor kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan, di antara korban tewas adalah 155 anak-anak. Sementara hampir 250 anak terluka dan 65 anak lainnya yatim piatu.

Bencana itu merupakan ujian besar bagi para penguasa Taliban. Dunia internasional belum mengakui kepemimpinan Taliban sejak mereka kembali menguasai Afghanistan.  Selain itu, sanksi terhadap badan-badan pemerintah dan bank Afghanistan telah memutus sebagian besar bantuan langsung untuk negara yang menghadapi krisis kemanusiaan, termasuk kelaparan.

 

Pemimpin tertinggi Taliban, Haibatullah Akhundzadah, yang hampir tidak pernah muncul di depan umum, memohon kepada masyarakat internasional dan organisasi kemanusiaan untuk membantu orang-orang Afghanistan yang terkena dampak tragedi besar ini.

Bencana gempa dahsyat itu menimbulkan lebih banyak kesengsaraan bagi warga Afghanistan.

Di Ibu Kota Kabul, Perdana Menteri Mohammad Hassan Akhund mengadakan pertemuan darurat di istana presiden. Wakil Menteri untuk Penanggulangan Bencana di bawah pemerintahan Taliban, Sharafuddin Muslim, mengatakan, Afghanistan membutuhkan bantuan dari negara lain untuk mengatasi bencana gempa ini. Dia mengakui bahwa, keterasingan penguasa Taliban dari dunia internasional membuat mereka sulit untuk menangani bencana ini.

“Ketika insiden besar seperti itu terjadi di negara mana pun, ada kebutuhan untuk bantuan dari negara lain. Sangat sulit bagi kami untuk dapat menanggapi insiden besar ini," ujar Muslim.

Jutaan orang Afghanistan menghadapi kelaparan dan kemiskinan yang meningkat. Termasuk sistem kesehatan yang telah runtuh sejak Taliban kembali berkuasa. Pengambilalihan itu menyebabkan terputusnya pembiayaan internasional yang vital, dan sebagian besar dunia tidak mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement