Selasa 12 Jul 2022 13:06 WIB

Joe Biden Ingin Berlakukan Lagi Larangan Penjualan Senjata Serbu

Pelarangan penjualan senjata serbu diklaim menurunkan penembakan massal di AS

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
Pita (garis) polisi digantung di sudut Central Avenue dan Green Bay Rd., di Highland Park, Illinois, pinggiran Chicago, Senin, 4 Juli 2022, setelah penembakan massal di parade Highland Park Fourth of July.
Foto: AP Photo/Nam Y. Huh
Pita (garis) polisi digantung di sudut Central Avenue dan Green Bay Rd., di Highland Park, Illinois, pinggiran Chicago, Senin, 4 Juli 2022, setelah penembakan massal di parade Highland Park Fourth of July.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden kembali menyerukan Kongres untuk memberlakukan kembali larangan penjualan senjata serbu secara nasional. Hal itu disampaikan saat Negeri Paman Sam terus menghadapi insiden penembakan massal yang merenggut korban sipil.

Biden mengungkapkan, pada 1994, AS pernah mengesahkan undang-undang (UU) pelarangan penjualan senjata serbu yang memperoleh dukungan bipartisan di Kongres. UU itu berakhir dan tak diperpanjang pada 2004. Menurut Biden, selama UU tersebut berlaku, angka penembakan massal di negaranya mengalami penurunan.

“Saya bertekad untuk melarang senjata-senjata ini lagi, dan magasin berkapasitas tinggi yang menampung 30 peluru; membiarkan penembak massal menembakkan ratusan peluru dalam hitungan menit. Saya tidak akan berhenti sampai kita melakukannya,” ujar Biden, Senin (11/7/2022).

Dia mengatakan, saat ini masyarakat AS hidup di negara yang dibanjiri senjata perang. “Apa alasan untuk senjata-senjata ini di luar zona perang?” ucap Biden.

Selain memberlakukan kembali larangan penjualan senjata serbu dan magasin berkapasitas tinggi, Biden mengatakan Kongres AS harus mengesahkan UU yang mewajibkan pemilik senjata untuk mengunci senjata api mereka dengan aman. Pemilik pun harus bertanggung jawab jika senjata mereka digunakan untuk melakukan kejahatan.

"Jika Anda memiliki senjata, Anda memiliki tanggung jawab untuk mengamankannya dan menyimpannya di bawah penguncian dan kunci. Tidak boleh ada orang lain yang memiliki akses ke sana. Jadi kuncilah, miliki kunci pemicu. Jika tidak, dan sesuatu yang buruk terjadi, Anda harus bertanggung jawab," kata Biden.

Pada 4 Juli, aksi penembakan massal kembali terjadi di AS, tepatnya di Chicago Highland Park, Illinois. Penembakan berlangsung saat warga menghadiri acara parade Hari Kemerdekaan AS. Pelaku bernama Robert “Bobby” E. Crimo III (21 tahun) melepaskan puluhan tembakan acak dari atap sebuah toko ke arah massa. Sebanyak tujuh orang tewas dan puluhan lainnya mengalami luka-luka akibat insiden tersebut.

Menurut Gun Violence Archive, sudah terjadi 313 penembakan massal di AS tahun ini. Definisi "penembakan massal" di AS sebenarnya masih cukup rancu. Ada yang menyebut bahwa sebuah aksi penembakan bisa dikategorikan "massal" jika menyebabkan tiga orang atau lebih, tewas. Ada pula yang menambahkan jumlah korban tewasnya menjadi empat ke atas untuk menjadikan sebuah insiden disebut penembakan massal.

Untuk dua definisi ini, lokasi kejadiannya adalah tempat publik. Sementara motifnya sembarang, seperti perampokan, kejahatan atau kekerasan geng, kekerasan domestik, dan lainnya.

Definisi penembakan massal lainnya yakni jika aksi itu menyebabkan empat orang tewas atau terluka. Definisi berikutnya adalah jika ada empat korban tewas atau terluka, termasuk pelaku, dalam satu insiden. Di dua definisi ini, lokasi kejadiannya bisa di mana pun. Motifnya juga bisa apa saja.

Ragam definisi ini yang pada akhirnya membuat proses pengarsipan atau pendokumentasian jumlah penembakan massal di AS sulit dilakukan secara ajek.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement