REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Kepala Dewan Strategis Iran untuk Hubungan Luar Negeri Kamal Kharrazi mengakui, negaranya mempunyai kemampuan mengembangkan dan membuat bom nuklir. Namun dia menyebut, Iran belum memutuskan apakah akan mengambil langkah tersebut.
"Dalam beberapa hari, kami dapat memperkaya uranium hingga 60 persen dan kami dapat dengan mudah menghasilkan 90 persen uranium yang diperkaya. Iran memiliki sarana teknis untuk memproduksi bom nuklir, tapi belum ada keputusan oleh Iran untuk membuatnya," kata Kharrazi saat diwawancara Aljazirah, Ahad (17/7/2022).
Dalam wawancara tersebut, Kharrazi turut menegaskan, Iran tidak akan menegosiasikan program rudal balistiknya dan kebijakan regional mereka. Hal itu menjadi sinyal, Teheran menolak tuntutan Barat dan sekutunya di Timur Tengah.
Saat ini, Iran memang tak lagi tunduk pada kesepakatan nuklir 2015 atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA). Kesepakatan itu melibatkan Iran dengan lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB plus Uni Eropa. Dalam JCPOA, Iran diharuskan mengekang program pengayaan uraniumnya yang dapat mengantarkannya mengembangkan senjata nuklir. Imbalannya, Barat melepaskan sanksi ekonomi terhadap Teheran.
Iran selalu menyatakan tak mempunyai niatan membuat senjata nuklir. Pada 2018, Presiden AS Donald Trump memutuskan menarik negaranya dari JCPOA. Trump beralasan, JCPOA “cacat” karena tak turut mengatur program rudal balistik Iran dan pengaruhnya di kawasan. Setelah menarik AS, Trump memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran.
Hal itu akhirnya membuat Iran tak lagi tunduk pada JCPOA. Mereka mulai melakukan pengayaan uranium. Belum lama ini, laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menyebut, cadangan uranium yang diperkaya Iran telah meningkat 18 kali lipat dari batas ketentuan dalam JCPOA.
Saat ini AS, di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, berusaha memulihkan kembali JCPOA. Namun pembicaraan tak langsung antara kedua negara tersebut telah terhenti sejak Maret lalu.