REPUBLIKA.CO.ID, KUWAIT -- Kuwait menunjuk Putra Mahkota Sheikh Meshal al-Ahmad al-Sabah sebagai perdana menteri pada Ahad (24/6). Dia menggantikan Perdana Menteri sementara Sheikh Sabah al-Khalid yang menghadapi anggota parlemen yang agresif.
Putra mahkota telah mengambil alih sebagian besar tugas emir yang berkuasa akhir tahun lalu. Dia menunjuk Sheikh Ahmad Nawaf al-Sabah ke jabatan itu dalam sebuah dekrit dan memintanya untuk mengusulkan kabinet baru untuk disetujui.
Bulan lalu putra mahkota mengatakan, membubarkan parlemen dan akan mengeluarkan dekrit untuk pemilihan awal. Tindakan ini disambut oleh anggota parlemen oposisi yang telah melakukan aksi protes untuk menekan pangeran menunjuk perdana menteri baru.
Stabilitas politik di negara produsen minyak OPEC sekutu Amerika Serikat (AS) ini secara tradisional bergantung pada kerja sama antara pemerintah dan parlemen. Kuwait memiliki legislatif tertua dan paling hidup di kawasan Teluk Arab.
Sheikh Ahmad sebelumnya menjabat sebagai wakil perdana menteri dan menteri dalam negeri di pemerintahan yang akan dibubarkan. Dia telah mengajukan pengunduran dirinya pada April menjelang mosi non-kerja sama di parlemen melawan Sheikh Sabah, yang telah menjadi perdana menteri sejak akhir 2019.
Putra mahkota di akhir tahun 60-an memulai karirnya di kepolisian dan kemudian memasuki kementerian dalam negeri. Setelah ayahnya Emir Sheikh Nawaf al-Ahmad mengambil alih kekuasaan pada 2020, dia diangkat sebagai wakil kepala Garda Nasional.
Kuwait telah memberikan pengaruh yang lebih besar kepada legislatif daripada badan serupa di monarki Teluk lainnya, termasuk kekuatan untuk mengesahkan dan memblokir undang-undang, menanyai menteri, dan mengajukan mosi tidak percaya terhadap pejabat senior pemerintah. Kebuntuan antara pemerintah dan parlemen di negara yang melarang partai politik ini sering menyebabkan perombakan kabinet dan pembubaran badan legislatif selama beberapa dekade, menghambat investasi dan reformasi.