REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengatakan Laut China Selatan (LCS) bukan "taman safari" bagi negara-negara di luar kawasan atau "area pertarungan" bagi negara-negara besar. Hal ini ia sampaikan dalam seminar daring memperingati 20 tahun kode perilaku di LCS atau Conduct of Parties in the South China Sea, Ahad (24/7/2022).
Dalam pidato pembukaannya Wang mengatakan isu LCS harus diserahkan pada negara-negara di kawasan. Dua pekan yang lalu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken menegaskan kembali komitmen Washington pada Laut China Selatan (LCS) yang bebas dan terbuka sesuai hukum internasional yang diatur Konvensi Tentang Hukum Laut 1982.
Blinken memastikan AS menegakan putusan pengadilan arbitrase mengenai LCS enam tahun yang lalu.
"Enam tahun yang lalu, Pengadilan Arbitrase yang dibentuk berdasarkan Konvensi Tentang Hukum Laut 1982 mengeluarkan putusan bulat, yang bersifat final dan mengikat bagi Filipina dan RRC (Republik Rakyat China)," kata Blinken dalam siaran pers yang dirilis Kementerian Luar Negeri AS, Rabu (13/7/2022).
"Dalam putusannya, pengadilan tegas menolak klaim maritim ekspansif RRC atas Laut China Selatan karena tidak berlandaskan hukum internasional. Pengadilan juga menyatakan RRC tidak memiliki klaim berlandaskan hukum atas area-area yang ditetapkan Pengadilan Arbitrase sebagai bagian dari zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen Filipina," tambahnya.
Dalam pernyataan tersebut Departemen Luar Negeri AS mengatakan tahun ini mereka mengeluarkan Batas-Batas di Laut No. 150. Serangkaian studi terbaru tentang klaim maritim negara-negara pantai dan kesesuaiannya pada hukum internasional.
Kajian ini meneliti klaim maritim RRC atas Laut China Selatan yang mereka olah kembali setelah putusan pengadilan. Studi ini menyimpulkan klaim-klaim maritim baru China tetap tidak mematuhi hukum internasional.