REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres pada Senin (25/6/2022), mengecam keras eksekusi empat aktivis demokrasi oleh militer yang berkuasa di Myanmar. Wakil juru bicara PBB Farhan Haq menyatakan, Guterres menentang hukuman mati dalam segala keadaan.
"Sekretaris Jenderal mengulangi seruannya untuk segera membebaskan semua tahanan yang ditahan secara sewenang-wenang, termasuk Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi," kata Haq dalam sebuah pernyataan.
Militer Myanmar yang berkuasa mengumumkan pada Senin, telah mengeksekusi empat aktivis demokrasi yang dituduh membantu aksi teror. Mereka mendapatkan vonis tersebut dalam persidangan rahasia pada Januari dan April.
Para aktivis tersebut dituduh membantu gerakan perlawanan sipil yang telah memerangi militer sejak kudeta tahun lalu dan tindakan keras berdarah terhadap protes nasional. Mereka adalah Kyaw Min Yu atau lebih dikenal sebagai Jimmy, Phyo Zeya Thaw, Hla Myo Aung, dan Aung Thura Zaw.
Usai pengumuman itu, pemerintah bayangan Myanmar National Unity Government (NUG) mengatakan, sudah waktunya untuk tanggapan internasional. "Komunitas global harus menghukum kekejaman mereka," kata Kyaw Zaw, juru bicara kantor presiden NUG.
Kepala hak asasi manusia PBB Michelle Bachelet menyebut eksekusi itu sebagai langkah yang kejam dan regresif. Sedangkan, dalam pernyataan bersama, Uni Eropa, Australia, Kanada, Jepang, Selandia Baru, Norwegia, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat menggambarkan eksekusi tersebut sebagai tindakan kekerasan tercela yang selanjutnya menunjukkan pengabaian rezim terhadap hak asasi manusia dan aturan hukum.
Gedung Putih mengutuk eksekusi keji terhadap aktivis pro-demokrasi dan pemimpin terpilih. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengatakan, AS sedang mempertimbangkan langkah-langkah lebih lanjut sebagai tanggapan terhadap junta.
Price mendesak negara-negara untuk melarang penjualan peralatan militer ke Myanmar. Dia pun mendesakan untuk tidak melakukan apa pun yang dapat memberikan kredibilitas internasional kepada junta.
Menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) yang telah melacak penangkapan, pembunuhan, dan putusan pengadilan di Myanmar, eksekusi tersebut adalah yang pertama dilakukan di antara sekitar 117 hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dijalankan militer sejak kudeta. Istri Phyo Zeyar Thaw, Thazin Nyunt Aung, menyatakan keluarga dari orang-orang yang dieksekusi tidak diberi kesempatan untuk mengambil tubuh orang yang mereka cintai.