REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China pada Selasa (26/7/2022) kembali didorong untuk campur tangan soal urusan di Myanmar, karena Beijing menganut "kebijakan non-intervensi," menurut Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China.
“China menganut prinsip non-intervensi dalam urusan internal (negara lain),” kata Zhao.
Dia menjawab pertanyaan soal AS telah mendesak Beijing untuk memberikan pengaruh pada Myanmar setelah junta militer mengeksekusi empat aktivis akhir pekan lalu.
Menurut transkrip briefing hariannya, Zhao mengatakan semua pihak dan faksi di Myanmar harus bekerja untuk kepentingan jangka panjang negara dan menangani perbedaan serta kontradiksi dengan baik dalam kerangka konstitusi dan undang-undang.
Junta militer di Myanmar mengundang kemarahan global setelah mengeksekusi empat orang selama akhir pekan kemarin, termasuk aktivis politik terkemuka.
Keempat aktivis ditangkap tahun lalu dan junta mendakwa mereka dengan “kasus pembunuhan brutal” pada 14 Maret 2021. Ini adalah pertama kalinya sejak tahun 1980-an Myanmar memberlakukan eksekusi mati. Sejarah Myanmar yang mayoritas beragama Buddha penuh dengan rezim junta. Kudeta terakhir, yang dilakukan tahun lalu pada bulan Februari tahun lalu, telah ditanggapi dengan kerusuhan sipil massal.
Militer telah menggunakan kekuatan dalam upayanya untuk memadamkan perbedaan pendapat dan membunuh lebih dari 2.000 orang, menurut monitor lokal Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
PBB memperkirakan bahwa lebih dari 700.000 orang mengungsi di negara itu pada 1 Juni, termasuk lebih dari 250.000 anak-anak. Sekitar 117 orang telah dijatuhi hukuman mati oleh junta sejak kudeta militer tahun lalu, termasuk 41 orang yang dijatuhi hukuman in absentia.