REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran menjawab tuduhan negara Barat dan Amerika Serikat terkait negaranya akan membuat senjata nuklir.
Teheran mengonfirmasi keahlian teknis mereka di bidang tenaga nuklir, yang salah satu capaiannya bisa digunakan untuk memproduksi senjata nuklir. Tetapi Kepala Organisasi Energi Atom Iran, Mohammad Eslami menyatakan Iran tidak akan menempuh jalan itu.
Pernyataan itu mengulangi apa yang dikatakan seorang pembantu senior pemimpin tertinggi Iran kepada wartawan bulan lalu. "Iran memiliki kemampuan teknis untuk membuat bom atom, tetapi program semacam itu tidak ada dalam agenda,” kata Eslami, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Fars News, Senin (1/8/2022).
Pada Juli lalu Kamal Kharrazi, seorang penasihat Ayatollah Ali Khamenei, mengatakan kepada Aljazirah bahwa Teheran dapat dengan mudah memproduksi uranium. Bahkan Uranium itu bisa diperkaya hingga ke tingkat senjata dan elemen perangkat nuklir lainnya. "Bisa, jika Iran memilih untuk melakukannya," kata Kharrazi.
Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz menanggapi pernyataan Kharrazi. Gantz menyerukan bahwa bila hal itu dilakukan, Israel bisa melancarkan serangan terhadap Iran, yang telah menjadi musuh di regionalnya selama ini.
Kemudian, dalam wawancara itu, Eslami juga mengecam Israel atas apa yang dia gambarkan sebagai tuduhan palsu bahwa Iran ingin menjadi negara bersenjata nuklir. "Otoritas Israel telah melontarkan tuduhan semacam itu selama bertahun-tahun," kata pejabat Iran itu, seraya menambahkan tuduhan itu justru menunjukkan kemunafikan negara Israel.
Justru selama ini, Israel secara luas dianggap memiliki gudang senjata nuklir yang canggih, tetapi mereka tidak mengakui dan selalu menyangkalnya secara resmi.
Sementara, Teheran telah lama menyatakan bahwa memiliki senjata nuklir tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Pada 2015, Iran setuju untuk memberlakukan pembatasan pada industri nuklirnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi dan insentif lainnya.
Anehnya kesepakatan multilateral, yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA) itu justru dihancurkan oleh AS sendiri di bawah Presiden Donald Trump, yang secara sepihak menarik diri pada 2018. Sebagai tindakan balasan, Iran telah secara bertahap mengurangi kesepakatannya.