REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Diplomat senior Departemen Nonproliferasi dan Pengendalian Senjata Kementerian Luar Negeri Rusia, Alexander Trofimov, mengatakan, konflik di Ukraina tidak menjamin penggunaan senjata nuklir Rusia. Tetapi Moskow dapat memutuskan untuk menggunakan persenjataan nuklirnya sebagai tanggapan atas "agresi langsung" oleh negara-negara NATO terkait invasi tersebut.
Dalam beberapa hari setelah invasi Rusia pada 24 Februari, Putin menempatkan pasukan pencegahan yang meliputi senjata nuklir dalam siaga tinggi. Langkah ini diambil terkait pernyataan agresif oleh para pemimpin NATO dan sanksi ekonomi Barat terhadap Moskow. Trofimov mengatakan, Moskow hanya akan menggunakan senjata nuklir sebagai tanggapan atas senjata pemusnah massal atau serangan senjata konvensional yang mengancam keberadaan negara Rusia.
"Tak satu pun dari dua skenario hipotetis ini relevan dengan situasi di Ukraina," kata Trofimov pada konferensi PBB untuk meninjau Perjanjian Non-Proliferasi Senjata Nuklir.
Namun, Trofimov menuduh negara-negara NATO melakukan konfrontasi hibrida yang sengit untuk melawan Rusia. "Langkah seperti itu akan dapat memicu salah satu dari dua skenario darurat yang dijelaskan dalam doktrin kami. Kami jelas berdiri untuk mencegah ini, tetapi jika negara-negara Barat mencoba menguji tekad kami, Rusia tidak akan mundur," ujarnya.
Rusia pada Selasa (2/8/2022) menuduh Amerika Serikat terlibat langsung dalam perang Ukraina. Moskow menanggapi penggunaan peluncur Sistem Roket Artileri Mobilitas Tinggi (HIMARS) oleh Ukraina. Senjata ini merupakan buatan Amerika Serikat yang memiliki citra satelit sangat baik dan informasi real time.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan dunia sedang terancam dengan senjata nuklir. Hampir 13 ribu senjata nuklir ada di gudang senjata di seluruh dunia.
Guterres menyatakan kekhawatirannya kepada banyak menteri, pejabat, dan diplomat yang berkumpul di Aula Majelis Umum dalam konferensi Perjanjian Nonproliferasi Nuklir pada Senin (1/8). Dia mengatakan, negara-negara yang mencari keamanan palsu dengan menghabiskan ratusan miliar dolar untuk senjata pembawa kiamat.
“Semua ini pada saat risiko proliferasi tumbuh dan pagar pembatas untuk mencegah eskalasi melemah," kata Guterres.