REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Bank of England mengumumkan kenaikan suku bunga terbesar dalam 27 tahun pada Kamis (4/8/2022). Bank sentral memperkirakan bahwa perang di Ukraina akan memicu inflasi lebih lanjut dan mendorong ekonomi Inggris ke dalam resesi yang berkepanjangan.
Disebutkan, melonjaknya harga gas alam kemungkinan akan mendorong inflasi harga konsumen menjadi 13,3 persen pada Oktober, dari 9,4 persen pada Juni 2022. Diproyeksikan inflasi tersebut akan mendorong Inggris ke dalam resesi akhir tahun ini dengan output ekonomi menurun setiap kuartal dari kuartal keempat 2022 hingga kuartal keempat 2023.
Sehingga, Komite Kebijakan Moneter bank sentral memutuskan untuk meningkatkan suku bunga utamanya sebesar 0,5 poin persentase, terbesar dari enam kenaikan berturut-turut sejak Desember. Tingkat bunga saat ini menjadi sebesar 1,75 persen, tertinggi sejak kedalaman krisis keuangan global pada akhir 2008.
Gubernur Bank of England, Andrew Bailey mengatakan, kenaikan tersebut akan meningkatkan biaya pinjaman bagi konsumen. Menurutnya, perbankan memiliki tugas untuk mengendalikan kenaikan harga yang secara tidak proporsional memengaruhi masyarakat termiskin.
"Saya menyadari dampak signifikan yang akan terjadi dan betapa sulitnya tantangan biaya hidup bagi banyak orang di Inggris," kata Bailey pada konferensi pers, dilansir AP.
Inflasi sangat berimbas pada kelompok yang paling tidak mampu. Sehingga jika tidak bertindak melawan inflasi yang terus berlanjut, lanjutnya, konsekuensinya nanti akan lebih buruk.
Bank-bank sentral di seluruh dunia sedang berjuang untuk menyeimbangkan upaya mengendalikan inflasi sambil meminimalkan dampak bagi ekonomi yang baru mulai pulih dari pandemi. Suku bunga yang lebih tinggi akan meningkatkan biaya pinjaman untuk bisnis dan konsumen.
Ini akan cenderung mengurangi pengeluaran dan mengurangi kenaikan harga. Namun demikian, langkah seperti itu juga memperlambat pertumbuhan ekonomi.