"Sistem ini adalah kesalahan besar sejak awal. Di negara seperti Afghanistan, selalu ada kemungkinan bahwa informasi akan berakhir di tangan teroris, dan Anda bisa terbunuh,” kata Rafiee, yang tidak mengajukan permohonan e-Tazkira.
Awal tahun ini, Human Rights Watch mengkonfirmasi bahwa Taliban mengendalikan data penggajian pemerintah dan mahkamah agung. Termasuk sistem biometrik polisi dan tentara, serta mereka yang bekerja dengan pemerintah asing dan lembaga bantuan.
“Bagi mereka yang bersembunyi, tidak ada cara untuk menghindari deteksi karena Taliban melakukan pemeriksaan identitas dengan foto, sidik jari, dan pemindaian iris mata di pos pemeriksaan,” kata peneliti senior di Human Rights Watch, Belkis Willie.
"Orang-orang tidak bisa meninggalkan rumah tempat mereka bersembunyi. Selain itu, siapa pun yang pergi ke kantor paspor untuk mendapatkan paspor mereka dan meninggalkan negara, identitas mereka akan diketahui,” kata Willie menambahkan.
Kelompok yang mendukung sistem data digital berpendapat, sistem biometrik memungkinkan penghitungan dan mengidentifikasi orang yang membutuhkan bantuan dengan lebih akurat. Sehingga memastikan pengiriman bantuan lebih efisien, dan membantu mencegah penipuan. Tetapi para kritikus mengatakan, sistem tersebut dapat disalahgunakan.
Raman Jit Singh Chima dari kelompok hak digital, Access Now mengatakan, peristiwa di Afghanistan telah menggarisbawahi risiko sistem ID yang dibangun tanpa mempertimbangkan kemungkinan dampak pada hak asasi manusia, dan tanpa perlindungan untuk mencegah penyalahgunaan. Selama setahun terakhir, kelompok hak digital telah meminta lembaga bantuan, donor asing, serta perusahaan telekomunikasi dan teknologi untuk memikirkan kembali bagaimana mereka mengumpulkan data biometrik. Termasuk mengamankan sistem mereka untuk mencegah bahaya.
“Program ID Digital dengan implikasi serius terhadap hak asasi manusia masih dilaksanakan, atau didorong, bahkan di lingkungan yang berisiko tinggi atau dilanda krisis,” kata Chima.