REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Sistem perawatan kesehatan di Jalur Gaza berada di ambang kehancuran. Para pejabat Palestina menuding pengepungan Israel selama 15 tahun dan banyaknya jumlah korban selama serangan militer terbaru Israel, menjadi penyebab runtuhnya sistem kesehatan Gaza.
Selain itu, selama lima hari berturut-turut, Israel telah memperketat penutupan penyeberangan Gaza. Penutupan ini menghambat masuknya pasokan makanan dan komoditas pokok lainnya, termasuk bahan bakar untuk kebutuhan pembangkit listrik tunggal.
"Korban tiba di rumah sakit setiap menit," kata Direktur Al-Shifa Medical Compound, Dr Mohammad Abu Selmiyeh, dilansir Middle East Monitor, Selasa (9/8/2022).
Abu Selmiyeh memperingatkan, layanan dasar dapat terhenti kapan saja karena kurangnya pasokan obat-obatan dan peralatan medis dasar, serta krisis listrik. “Situasinya sangat kritis,” ujarnya.
Setidaknya 44 orang, termasuk 15 anak-anak di Gaza tewas dalam serangan udara Israel yang terjadi pada Jumat (5/8/2022) dan berlanjut hingga Ahad (7/8/2022). Ratusan orang terluka dan beberapa rumah hancur di Jalur Gaza akibat serangan Israel. Kelompok Jihad Islam menembakkan lebih dari 1.000 roket ke Israel, sehingga membuat penduduk daerah selatan dan kota-kota besar termasuk Tel Aviv melarikan diri ke tempat penampungan.
Israel dan kelompok bersenjata Palestina, Jihad Islam telah mengumumkan gencatan senjata, untuk mengakhiri serangan di Gaza yang berlangsung selama tiga hari mulai Jumat (5/8/2022) hingga Ahad (7/8/2022). Gencatan senjata dimulai pada Ahad pukul 23:30 waktu setempat.
Gencatan senjata pada Ahad dimediasi oleh Mesir, dengan bantuan dari PBB dan Qatar. Sekretaris Jenderal Jihad Islam, Ziad al-Nakhala, mengatakan salah satu perjanjian kunci dalam gencatan senjata itu adalah Mesir memberikan jaminan akan membebaskan dua pemimpin Jihad Islam yang ditahan oleh Israel.