Jumat 12 Aug 2022 12:54 WIB

Studi: Risiko Resesi di Eropa Meningkat

Risiko resesi di Eropa dipicu berbagai krisis termasuk pandemi dan perang

Red: Nur Aini
Sebuah taman kimia Shell menyala di Wesseling, dekat Cologne, Jerman, Rabu, 6 April 2022. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Institut Ekonomi Jerman (IW) pada Kamis (11/8/2022), menunjukkan bahwa berbagai krisis seperti pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina telah meningkatkan risiko resesi di Eropa.
Foto: AP/Martin Meissner
Sebuah taman kimia Shell menyala di Wesseling, dekat Cologne, Jerman, Rabu, 6 April 2022. Sebuah studi yang diterbitkan oleh Institut Ekonomi Jerman (IW) pada Kamis (11/8/2022), menunjukkan bahwa berbagai krisis seperti pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina telah meningkatkan risiko resesi di Eropa.

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN -- Sebuah studi yang diterbitkan oleh Institut Ekonomi Jerman (IW) pada Kamis (11/8/2022), menunjukkan bahwa berbagai krisis seperti pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina telah meningkatkan risiko resesi di Eropa.

Tahun lalu, Uni Eropa mengadopsi paket pemulihan 800 miliar euro (826 miliar dolar AS) untuk mengatasi dampak pandemi. Spanyol dan Italia, dua negara yang paling terpukul, menerima bagian terbesar masing-masing sebesar 77 miliar euro dan 70 miliar euro dalam bentuk bantuan yang tidak dapat dibayar kembali.

Baca Juga

Meskipun program tersebut tampaknya memberikan insentif positif bagi investasi swasta di blok tersebut, pemulihan yang cepat, tidak terwujud, kata studi tersebut. Negara-negara Uni Eropa terpukul ke tingkat yang berbeda dan di beberapa negara anggota seperti Jerman, Spanyol dan Italia, pengeluaran konsumen swasta atau produksi industri masih di bawah tingkat sebelum krisis. Selain itu, tingkat inflasi yang sudah tinggi "lebih didorong oleh guncangan harga energi eksogen," catat IW.

Didorong oleh melonjaknya harga energi, inflasi di Uni Eropa naik menjadi 9,6 persen pada Juni. Tingkat tertinggi tercatat di Estonia dan Lithuania, lebih dari 20 persen. Di Jerman, tren kenaikan sedikit melambat pada Juli menjadi 7,5 persen, menurut data resmi.

Untuk mengekang tingkat inflasi yang tinggi, Bank Sentral Eropa (ECB) telah menaikkan suku bunga utamanya. Setelah langkah pertama sebesar 0,5 poin persentase pada Juli, lebih banyak lagi yang akan menyusul.

"Ini adalah kenaikan suku bunga pertama dalam 11 tahun. Tapi sebenarnya ini hanya langkah terakhir dalam perjalanan kami untuk melepaskan langkah-langkah khusus yang harus kami ambil untuk melawan serangkaian krisis," kata Presiden ECB Christine Lagarde pada Juli.

Namun, efek langsung dari kenaikan suku bunga tidak dirasakan, menurut IW. Sebaliknya, intervensi ECB bahkan dapat meningkatkan risiko resesi. "Stagflasi adalah risiko nyata di Eropa," institut itu memperingatkan.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement