REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ribuan orang telah tewas di Eropa akibat gelombang panas yang telah memicu kebakaran hutan besar-besaran. Hal tersebut dapat diperparah dengan kekeringan ekstrem yang diprediksi bakal segera menghantam benua Biru tersebut.
Rendahnya curah hujan selama berbulan-bulan yang jatuh di kawasan tersebut diprediksi menjadi penyebab kekeringan. Kondisi itu semakin mengintensifkan gelombang panas dan meningkatkan bahaya yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan, malapetaka pada tanaman hingga memiliki dampak serius pada perekonomian.
Menurut Observatorium Kekeringan Eropa yang diwartakan Washington Post, Sabtu (13/8/2022) menyebutkan bahwa hampir setengah dari benua tersebut berada di bawah ancaman kekeringan disertai defisit kelembaban tanah yang besar. Tambahan 17 persen dari Eropa telah mencapai ambang di mana vegetasi menderita, dalam beberapa kasus mati atau menipis.
Petani telah berjuang bergulat dengan kondisi kering. Ilmuwan senior di European Drought Observatory, Andrea Toreti menjelaskan kekeringan akan menjadi yang terburuk dalam 500 tahun.
Musim gugur dan musim dingin yang kering berarti air tanah menuju musim semi dan musim panas sudah rendah. Suhu ekstrem yang diamati sejauh musim panas yang diperparah oleh perubahan iklim akibat manusia telah membantu mengeringkan air.
Dia mengungkapkan selama Juli, bagian selatan Inggris, termasuk London hanya menerima 10 hingga 20 persen dari curah hujan rata-rata mereka atau bahkan hampir tidak ada sama sekali. London mengambil hampir satu milimeter curah hujan dibandingkan dengan rata-rata 45 milimeter.
Kantor Meteorologi Inggris atau Met mengonfirmasi periode Juli itu terkering di London selatan dalam catatan dan Juli terkering di seluruh negeri sejak 1935. Kekeringan serupa juga mengancam Prancis, Jerman hingga beberapa daerah lainnya.