Apa yang terjadi di tarmak Bandara Kabul pada 16 Agustus itu hanyalah satu dari serangkaian drama dan tragedi yang menyertai pelaksanaan evakuasi penarikan pasukan Amerika Serikat dari negeri miskin yang telah lama didera perang tersebut.
Kejadian memilukan lain yang sempat terjadi di tengah upaya evakuasi tentara dan warga negara Amerika Serikat serta warga Afghanistan dan asing yang pernah bekerja untuk kepentingan Amerika Serikat selama 20 tahun pendudukannya itu adalah serangan mematikan teroris ISIS.
Serangan kelompok ISIL di area Bandara Internasional Hamid Karzai Kabul pada 26 Agustus tersebut menewaskan sedikitnya 13 serdadu Amerika dan 70 warga Afghanistan, termasuk 28 anggota Taliban (Aljazeera, 2021).
Namun, setelah proses evakuasi yang dimulai pada 14 Agustus itu berjalan 16 hari, otoritas Amerika di Afghanistan akhirnya berhasil merampungkan misi mereka.
Pentagon mengumumkan bahwa pihaknya telah sepenuhnya menyelesaikan misi penarikan pasukan Amerika Serikat dari negeri yang, menurut laporan media, menyimpan harta karun sumber daya alam bernilai hingga tiga triliun dolar AS (Rp44,28 kuadriliun) pada 30 Agustus atau sehari lebih cepat dari batas waktu yang telah ditetapkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada 31 Agustus.
Pengumuman resmi Pentagon itu sekaligus menandai berakhirnya 20 tahun pendudukan Amerika Serikat di Afghanistan yang dimulai tak lama setelah serangan teroris 9/11.
Selama 16 hari pelaksanaan evakuasi penuh drama dan kekacauan itu, Komandan Komando Sentral Amerika Serikat Jenderal Kenneth McKenzie mengatakan pihaknya berhasil mengevakuasi 79 ribu orang dari Kabul, termasuk 6.000 warga negara AS (Aljazeera, 2021).
Begitulah drama kegagalan Amerika Serikat di Afghanistan, negeri Muslim yang dia invasi pada 7 Oktober 2001 untuk menumbangkan rezim Taliban yang ditudingnya telah menyembunyikan para anggota Alqaeda.
Gedung Putih tak belajar dari "kutukan sejarah" kekalahan memalukan komunis Uni Soviet saat menginvasi dan menduduki Negeri Para Mullah itu dari 25 Desember 1979 hingga 2 Februari 1989.
Alih-alih belajar dari pengalaman buruk Soviet di era Perang Dingin itu, Amerika Serikat justru mengulangi lagi petualangan geopolitik Kremlin yang gagal tersebut dengan dalih hendak menumpas Alqaeda dan jaringan terorisme internasional yang dilindungi rezim Taliban.
Kinerja Amerika Serikat yang buruk dalam misi penarikan pasukannya, sekaligus menutup bab pendudukan Washington di Afghanistan, itu juga menunjukkan kegagalan praktik dan kerapuhan sistem demokrasi Barat.
Betapa tidak, selama 20 tahun berkuasa, rezim-rezim boneka Gedung Putih yang berkuasa di Kabul setelah memenangi pemilu ala demokrasi Amerika itu bahkan tak berhasil menghadirkan kesejahteraan dan perdamaian hakiki di negerinya sendiri.
Baca juga: Dulu Pembenci Adzan dan Alquran, Mualaf Andreanes Kini Berbalik Jadi Pembela Keduanya
Amerika pun seperti tak memahami sistem struktur sosial yang ada di Afghanistan padahal saat komunis Soviet menginvasi dan bercokol di negeri itu, mereka sudah berhubungan dengan mujahidin yang berperang melawan pendudukan Kremlin di sana.
Pengalaman tersebut sepertinya tak membuat Amerika Serikat sepenuhnya memahami DNA dan karakteristik rakyat Afghan yang lebih setia pada klan dan pimpinan klannya.
Akhir dari petualangan geopolitik Gedung Putih yang gagal di Afghanistan, negeri Muslim yang berbatasan dengan Pakistan di timur dan selatan, Iran di barat, Turkmenistan dan Uzbekistan di utara, serta Tajikistan dan Tiongkok di timur laut, layak dijadikan pelajaran berharga oleh bangsa mana pun.
Kita menolak lupa kegagalan Amerika yang memalukan di Afghanistan ini tatkala bangsa Indonesia yang cinta damai dan merupakan sahabat rakyat Afghanistan bersiap merayakan 77 tahun kemerdekaan republik ini pada 17 Agustus 2022.
*Naskah ini ditulis Rahmad Nasution jurnalis ANTARA. Pandangan dan pendapat yang tertuang dalam tulisan ini sepenuhnya merupakan perspektif penulis dan tidak mencerminkan kebijakan atau posisi Kantor Berita ANTARA.