REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH – Warga Palestina telah menyatakan kemarahannya atas keputusan pengadilan Israel, menghancurkan sebuah sekolah yang melayani komunitas Badui Palestina di timur Ramallah, di Tepi Barat.
Sekolah ini dibangun dengan dukungan keuangan Uni Eropa (UE) awal tahun ini, pada pertengahan Januari 2022. Sejauh ini, sekolah tersebut melayani 17 siswa dan anak-anak masyarakat Badui, dari kelas satu hingga kelas enam.
Ke depannya, lebih banyak siswa diharapkan dapat menghadiri sekolah di tahun pelajaran mendatang. Satu-satunya sekolah lain yang tersedia untuk komunitas Badui adalah 11 km jauhnya.
Settlement and Wall Resistance Commission, bekerja sama dengan badan hukum Palestina, berhasil memperoleh keputusan dari pengadilan Israel di Yerusalem untuk tidak meruntuhkan sekolah tersebut selama 10 hari, setelah staf administrasi sipil otoritas Israel menyerbu daerah tersebut dan mengumumkan niatnya untuk melakukan pembongkaran.
Pada 12 Agustus, perwakilan, duta besar dan konsul Uni Eropa mengunjungi sekolah tersebut untuk menunjukkan solidaritas dengan para siswa dan memprotes keputusan pengadilan.
“Ini bukan kunjungan pertama di mana kami bertemu untuk memprotes keputusan pendudukan. Israel, sebagai kekuatan pendudukan, harus menghormati hak atas pendidikan di bawah hukum internasional dan konvensi internasional yang relevan, serta menjamin hak anak-anak Palestina untuk mencapai sekolah mereka dengan mudah,” kata perwakilan Uni Eropa di Palestina, Sven Kuehn von Burgsdorff, dikutip di Arab News, Selasa (16/8/2022).
Dia lantas menggambarkan keputusan untuk menghancurkan sekolah itu sebagai hal tidak logis. Dia juga menambahkan, tindakan yang dimaksudkan oleh Israel jelas merupakan pelanggaran terhadap semua kewajiban internasional dan merupakan pemindahan paksa.
Politisi Palestina Mustafa Al-Barghouthi mengatakan Israel tidak menganggap serius Uni Eropa. Kondisi seputar pembongkaran sekolah ini seolah mengungkapkan standar ganda Uni Eropa atas Ukraina dan apa yang terjadi di Palestina.
Tidak hanya itu, Barghouthi juga menambahkan Israel hanya memahami bahasa kekerasan, dan tidak menghormati hak asasi manusia atau hak-hak rakyat Palestina.
Sementara itu, Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh. menegaskan penolakannya terhadap keputusan pengadilan Israel.
“Keputusan pendudukan Israel untuk menghancurkan sekolah Ein Samiya datang dalam kerangka perang terhadap identitas Palestina, dan dalam kerangka upaya memunculkan kepanikan atas pendidikan keluarga,” katanya selama sesi Kabinet, Senin (15/8/2022) kemarin.
Lebih lanjut, dia menyebut penghentian penyelesaian pembangunan sekolah Ein Samiya dan upaya untuk memaksakan kurikulum Israel di sekolah-sekolah Palestina di Yerusalem Timur adalah dua sisi mata uang yang sama.
Kementerian Pendidikan Palestina juga mengutuk keputusan pengadilan Israel. Seorang juru bicara kementerian, Sadiq Al-Khaddour, mengatakan keputusan itu bertujuan untuk menggusur warga Palestina dari tanah mereka.
"Penargetan Israel terhadap sekolah Ein Samiya adalah bagian dari serangan terhadap identitas dan pendidikan nasional Palestina di semua bidang," katanya.
Kementerian mengatakan pihaknya sedang mencari mekanisme untuk menghentikan pembongkaran, bekerja sama dengan teman, mitra, organisasi dan badan internasional lainnya.
Sementara itu, otoritas Israel membatalkan lisensi enam sekolah swasta Palestina di Yerusalem untuk mengajar kurikulum Palestina, bukan versi Israel. “Kami akan mempertahankan kurikulum Palestina kami dan hak anak-anak kami atas pendidikan di semua wilayah,” kata Shtayyeh menanggapi hal tersebut.
Sumber: Arabnews