REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Aktivis dan pengawas digital telah melaporkan peningkatan nyata pembatasan konten Palestina secara online, dengan setidaknya 300 akun jurnalis dan aktivis Palestina dibatasi atau dihapus seluruhnya di berbagai platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter.
Pembatasan seperti itu muncul pada saat terjadinya ketegangan antara Palestina dan Israel di wilayah tersebut, karena penduduk menggunakan akun mereka untuk mendokumentasikan pelanggaran Israel.
Pada Agustus, wilayah Palestina menyaksikan serangkaian serangan berdarah Israel termasuk kampanye militer 3 hari terhadap Gaza, menewaskan sedikitnya 49 warga Palestina dan melukai sekitar 350 lainnya.
Sementara itu, tentara Israel membunuh warga Palestina di Tepi Barat dan menangkap puluhan dari mereka dalam serangan yang sedang berlangsung di kota-kota Palestina dan kota-kota di daerah tersebut.
Tanpa peringatan sebelumnya, Abdel Hakim Abu Riash, seorang fotografer yang berbasis di Gaza, terkejut bahwa akunnya telah dihapus awal bulan ini ketika dia membagikan beberapa video dan foto yang menggambarkan serangan Israel.
“Penghapusan ini bukan pertama kalinya. Saya mengalami kehilangan akun saya berkali-kali di waktu sebelumnya,” kata Abu Riash (32) dilansir dari Alaraby, Selasa (16/8/2022).
"Ketika kami memposting konten Palestina yang berbicara tentang pelanggaran Israel, Facebook langsung membatasi akun kami atau menghapusnya," tambah ayah empat anak itu.
Dalam upaya untuk menghindari kehilangan akun barunya, Abu Riash telah menggunakan tanda baca untuk memotong kata-katanya dengan cara menghindari algoritme. Namun, metode barunya tidak bertahan lama karena beberapa video terbaru yang dia bagikan juga telah dibatasi dan dihapus.
Abu Riash mengaku tidak dapat memposting konten apa pun yang menentang Israel, karena khawatir kehilangan akunnya lagi.
Seorang jurnalis yang berbasis di Ramallah, Ramiz Awwad, mengalami situasi serupa. Akun Facebooknya telah dihapus oleh Meta karena postingannya terkait dengan pelanggaran Israel terhadap warga Palestina di wilayah tersebut.
Fotografer berusia 28 tahun itu, mengatakan bahwa misi jurnalismenya didasarkan pada pengungkapan semua pelanggaran Israel melalui semua cara yang tersedia, termasuk berinvestasi di platform media sosial.
"Sebagai orang Palestina, kami menghadapi salah satu musuh paling berbahaya yang mendapat dukungan internasional, jadi kami harus melanggar semua aturannya dan kami harus menembus semua bidang agar tujuan kami didengar dan menunjukkan kepada dunia bahwa kami adalah orang-orang yang tertindas," katanya.
“Sayangnya, beberapa lembaga internasional mengadopsi aturan terbatas terhadap masalah Palestina, jadi kami tidak bisa berekspresi secara bebas,” tambahnya.
Menurut Sada Social, Abu Riash dan Awwada termasuk di antara lusinan jurnalis dan aktivis Palestina yang akunnya dihapus oleh Meta. Menurut Sada Social merupakan sebuah pusat non-pemerintah yang berbasis di Ramallah yang memantau penangguhan konten dan akun Palestina di platform media sosial.
“Pada Agustus saja, setidaknya 300 akun jurnalis dan aktivis Palestina dibatasi atau dihapus di berbagai platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, TikTok, dan Twitter,” kata Nidaa Basumi, seorang koordinator di Sada.
"Sejak awal 2022, unit siber tentara pendudukan Israel telah meningkatkan permintaannya untuk menghapus konten Palestina hingga 800 persen, 87 persen dari mereka sudah dihapus di Facebook,” tambahnya.
Pada 2021, Komite Legislasi Knesset Israel dengan suara bulat menyetujui "RUU Facebook", yang akan mewajibkan Facebook, Instagram, Twitter, dan Tik Tok untuk menghapus konten apa pun yang dianggap berbahaya oleh Israel menurut kontrak yang dibuat dengan Perusahaan-perusahaan tersebut.
“Mulai dari 2022, undang-undang tersebut menjadi wajib bagi perusahaan komunikasi digital untuk menjamin untuk memperbarui kontrak mereka dengan Israel,” menurut Mohammed Abu al-Rub, profesor media digital di Universitas Birzeit.
“Israel telah berhasil memberlakukan pembatasan atas platform media sosial. Sekarang, ada kasus yang konsisten di mana akun dibatasi pada platform media sosial, seperti adegan darah, gambar tokoh sejarah, martir revolusi Palestina, dan pemimpin, seperti gambar Abu Jihad, Abu Iyad, dan Presiden Palestina terakhir Yasir Arafat," ujarnya.
Menekankan bahwa konten Palestina telah terlibat dalam konflik jangka panjang dengan narasi Israel, ia mendesak warga Palestina untuk mengadopsi rencana yang kuat dan strategis untuk menantang aturan ilegal yang dikeluarkan oleh Facebook dan Instagram.
"Kami (Palestina) memiliki orang-orang kreatif yang dapat membangun platform media sosial mereka sendiri dan menyebarkannya secara global jauh dari milik AS yang mendukung pendudukan Israel dan melindungi pelanggarannya sepanjang waktu," tambahnya.