REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Pemimpin tertinggi Taliban Haibatullah Akhundzada mengatakan, kelompoknya akan tetap berpegang pada hukum syariat saat berurusan dengan komunitas internasional. Taliban, kata dia, siap tak menjalin hubungan dengan sebuah negara jika syariat tak mengizinkan.
“Kami akan berurusan dengan komunitas internasional sesuai syariat Islam. Jika syariat tidak mengizinkannya, kami tidak akan berurusan dengan negara lain mana pun,” kata Akhundzada saat berbicara di hadapan sekitar 3.000 pemimpin suku, pejabat, dan ulama di kota Kandahar, Kamis (18/8/2022).
Pertemuan besar itu telah dua kali digelar sejak Taliban berhasil mengambil alih kembali kekuasaan di Afghanistan pada Agustus tahun lalu. “Pertemuan ini diadakan untuk memikirkan kebebasan yang kita terima dengan berkah Allah, yang kita capai dari darah mujahidin kita,” ujar Akhundzada.
Menurut laporan kantor berita pemerintahan Taliban, Bakhtar, pertemuan pada Kamis lalu menghasilkan beberapa resolusi. Salah satunya adalah mengecam serangan pesawat nirawak yang dilakukan Amerika Serikat (AS).
Bulan lalu, Washington berhasil membunuh pemimpin al-Qaeda Ayman al-Zawahiri di tempat persembunyiannya di Kabul. Al-Zawahiri adalah salah satu otak di balik serangan gedung World Trade Center di New York pada 11 September 2001. Hampir 3.000 orang tewas dalam insiden tersebut.
Saat operasi pembunuhan al-Zawahiri, AS mengerahkan pesawat nirawak atau drone. Taliban mengecam serangan drone Washington di Kabul karena dianggap melanggar kedaulatannya. Sementara AS menuduh Taliban tak menaati kesepakatan yang mereka capai di Doha, Qatar, pada Februari 2020, karena melindungi al-Zawahiri.