REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Jutaan siswa yang mengenakan masker kembali ke sekolah dasar dan menengah pertama di seluruh Filipina pada Senin (22/8/2022). Mereka menghadiri kelas tatap muka pertama setelah dua tahun penguncian virus corona.
Lebih dari 27 juta siswa mendaftar untuk tahun ajaran. Namun, lebih dari 24.000 sekolah negeri atau sekitar 46 persen yang dapat membuka kelas tatap muka lima kali seminggu mulai Senin.
Sementara sisanya masih menggunakan campuran antara kelas tatap muka dan daring hingga 2 November. Semua sekolah negeri dan swasta diharuskan membawa semua siswa kembali ke ruang kelas saat itu.
Sekitar 1.000 sekolah tidak akan dapat beralih ke kelas tatap muka sepenuhnya selama masa transisi yang berakhir pada 2 November karena berbagai alasan. Salah satunya karena kerusakan gedung sekolah akibat gempa kuat bulan lalu di utara.
Departemen Pendidikan mengatakan, beberapa sekolah harus membagi kelas hingga tiga bagian sehari karena kekurangan ruang kelas, masalah yang sudah berlangsung lama. Cara ini juga untuk menghindari kepadatan yang dapat mengubah sekolah menjadi episentrum baru wabah virus corona.
"Kami selalu mengatakan bahwa tujuan kami hanya maksimal dua bagian tetapi akan ada area yang harus menggunakan tiga bagian karena mereka benar-benar penuh sesak,” kata juru bicara Departemen Pendidikan Michael Poa.
Poa mengatakan, 325 ruang belajar sementara sedang dibangun di provinsi Abra utara dan daerah-daerah terpencil untuk menggantikan gedung sekolah yang dilanda gempa kuat 27 Juli. Pejabat pendidikan juga bergegas membantu lebih dari 28.000 siswa mencari sekolah baru setelah setidaknya 425 sekolah swasta ditutup secara permanen sejak kedatangan pandemi pada 2020, terutama karena kerugian finansial. Sekitar 10.000 siswa telah terdaftar di sekolah umum.
Terlepas dari banyak kekhawatiran, pejabat pendidikan memberikan jaminan bahwa semua sistem berjalan untuk dimulainya kembali kelas pada Senin. Senator Joel Villanueva mengatakan, jaminan tersebut harus diimbangi dengan perbaikan nyata di lapangan.
"Era kehilangan ruang kelas, berbagi meja dan kursi, dan mengadakan kelas di bawah naungan pohon tidak boleh lagi terjadi,” kata Villanueva yang mengajukan dua rancangan aturan yang menyerukan tambahan bahan makanan, transportasi, dan tunjangan medis untuk guru sekolah umum.
Filipina dalam kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte saat itu memberlakukan salah satu penguncian dan penutupan sekolah terlama di dunia akibat virus korona. Duterte yang masa jabatan enam tahunnya berakhir pada 30 Juni telah menolak seruan untuk membuka kembali kelas tatap muka karena khawatir hal itu dapat memicu wabah baru.
Penutupan sekolah yang berkepanjangan memicu kekhawatiran bahwa tingkat melek huruf di kalangan anak-anak Filipina dapat memburuk. Terlebih lagi siswa di negara ini sudah berada pada tingkat yang mengkhawatirkan sebelum pandemi.
Sebuah studi Bank Dunia tahun lalu menunjukkan bahwa sekitar sembilan dari 10 anak di Filipina menderita kemiskinan belajar atau ketidakmampuan anak-anak pada usia 10 tahun untuk membaca dan memahami cerita sederhana. "Penutupan sekolah yang berkepanjangan, mitigasi risiko kesehatan yang buruk, dan guncangan pendapatan rumah tangga memiliki dampak terbesar pada kemiskinan belajar, yang mengakibatkan banyak anak di Filipina gagal membaca dan memahami teks sederhana pada usia 10 tahun,” kata UNICEF Filipina dalam sebuah pernyataan.
"Anak-anak yang rentan seperti anak-anak difabel, anak-anak yang tinggal di daerah terpencil dan tertinggal secara geografis, dan anak-anak yang tinggal di zona bencana dan konflik jauh lebih buruk,” kata badan PBB untuk anak-anak itu.