REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan, Gerakan Non-Blok (GNB) mempunyai potensi positif untuk menyelesaikan masalah internasional. Menurut dia, karena memiliki 120 suara di PBB, GNB atau dikenal pula dengan istilah Non-Aligned Movement (NAM), mampu untuk secara langsung mempengaruhi keputusan di badan dunia tersebut.
Komentar Lavrov tentang GNB terlontar saat diwawancara stasiun televisi Zvezda. “Potensinya positif dan menggembirakan, terutama dalam konteks upaya yang dilakukan hari ini untuk membentuk tatanan dunia yang multipolar, adil, dan demokratis,” ujar Lavrov saat ditanya tentang potensi GNB dalam penyelesaian isu internasional, dikutip laman kantor berita Rusia, TASS, Senin (29/8/2022).
Dia menjelaskan, GNB adalah proses objektif yang secara historis dikondisikan oleh tak meratanya perkembangan internasional. “Daerah yang dulunya 'terbelakang' di planet ini, kini menjadi 'mesin' ekonomi global, pusat pertumbuhan ekonomi baru, kekuatan finansial dengan pengaruh politik yang meningkat. Cina, India, Mesir, Turki, Meksiko, Brasil, Argentina, negara-negara Afrika menjadi pilar tatanan dunia yang dibentuk secara objektif. Era membangun multipolaritas sejati akan lama. Cina dan Turki berpartisipasi dalam proses ini tanpa menjadi bagian dari Gerakan Non-Blok. Mereka menjalin kerja sama yang cukup erat dengannya," tutur Lavrov.
Terkait situasi internasional saat ini, Lavrov mengatakan, Barat memaksa semua negara untuk bergabung dengan program “anti-Rusia”, termasuk di dalamnya penerapan sanksi dan boikot. Namun negara GNB tak terburu-buru menuruti permintaan tersebut. “Anggota GNB tidak terjerumus dalam pemerasan ini,” ucapnya.
Kendati demikian, Lavrov tak menampik, terdapat sejumlah negara GNB yang akhirnya menyerah pada tekanan Barat dan bergabung dalam gerakan anti-Rusia. "Namun tekanan pada mereka (negara GNB) terus berlanjut. Tidak dapat disangkal bahwa trik yang benar-benar terlarang akan digunakan,” kata Lavrov.
Hingga kini Rusia masih terlibat konflik dengan Ukraina. Setelah berlangsung selama enam bulan, belum ada tanda-tanda kedua negara tersebut akan duduk untuk merundingkan kesepakatan damai atau gencatan senjata.