REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pengadilan Arab Saudi menjatuhkan hukuman 45 tahun penjara kepada seorang perempuan karena unggahan di media sosial. Kelompok hak asasi DAWN mengutip dokumen pengadilan menunjukan, hukuman ini diberikan atas tuduhan menggunakan internet untuk merobek tatanan sosial Arab Saudi dan melanggar ketertiban umum dengan menggunakan media sosial.
Nourah binti Saeed al-Qahtani dihukum kemungkinan pada minggu lalu oleh Pengadilan Kriminal Khusus Saudi. DAWN mengatakan, sedikit yang diketahui tentang Qahtani atau apa yang dikatakannya di media sosialnya. Organisasi yang berbasis di Washington ini terus menyelidiki tersebut.
Hukuman Qahtani datang beberapa pekan setelah Salma al-Shehab yang merupakan ibu dua anak dan kandidat doktor di University of Leeds di Inggris dijatuhi hukuman 35 tahun penjara. Hukuman ini karena mengikuti dan me-retweet para pembangkang dan aktivis di Twitter.
Kasus Qahtani dan Shehab menggarisbawahi tindakan keras terhadap perbedaan pendapat yang didorong oleh penguasa de facto Kerajaan Pangeran Mohammed bin Salman. Padahal dia telah memperjuangkan reformasi seperti mengizinkan perempuan untuk mengemudi dan mendorong proyek untuk menciptakan lapangan kerja.
Direktur Penelitian untuk Wilayah Teluk di DAWN Abdullah al-Aoudh mengatakan, dalam kasus Shebab dan Qahtani, otoritas Saudi menggunakan undang-undang keras. Aturan ini untuk menargetkan dan menghukum warga Saudi karena mengkritik pemerintah di Twitter.
"Tapi ini hanya setengah dari cerita karena bahkan putra mahkota tidak akan mengizinkan hukuman pendendam dan berlebihan seperti itu jika dia merasa bahwa tindakan ini akan dipenuhi dengan kecaman yang berarti oleh Amerika Serikat dan pemerintah Barat lainnya. Jelas, tidak," ujarnya.
Pejabat Saudi mengatakan, kerajaan tidak memiliki tahanan politik. "Kami memiliki tahanan di Arab Saudi yang telah melakukan kejahatan dan diadili oleh pengadilan kami dan dinyatakan bersalah," kata Menteri Negara Luar Negeri Adel al-Jubeir kepada Reuters bulan lalu.
"Gagasan bahwa mereka akan digambarkan sebagai tahanan politik adalah konyol,"ujarnya.
Ketegangan atas catatan hak asasi manusia negara kaya minyak telah meregangkan hubungannya dengan Amerika Serikat (AS), termasuk atas hak-hak perempuan dan pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi pada 2018 di konsulat Saudi di Istanbul. Kasus-kasus terbaru ini juga datang setelah Presiden AS Joe Biden mengutip masalah hak asasi manusia selama pertemuannya dengan putra mahkota pada Juli.