Rabu 31 Aug 2022 11:58 WIB

Mantan Pejabat Mossad: Militer Israel Banyak Melakukan Operasi di Iran

Mossad tuduh rezim Iran adalah penyandang dana global terorisme di dunia.

Rep: Rizky Jaramaya/ Red: Esthi Maharani
Gambar satelit dari Planet Labs PBC ini menunjukkan situs nuklir Natanz Iran.  Mantan kepala Mossad, Yossi Cohen, mengatakan, militer Israel melakukan banyak operasi terhadap program nuklir Iran, selama masa jabatannya.
Foto: Planet Labs PBC via AP
Gambar satelit dari Planet Labs PBC ini menunjukkan situs nuklir Natanz Iran. Mantan kepala Mossad, Yossi Cohen, mengatakan, militer Israel melakukan banyak operasi terhadap program nuklir Iran, selama masa jabatannya.

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Mantan kepala Mossad, Yossi Cohen, mengatakan, militer Israel melakukan banyak operasi terhadap program nuklir Iran, selama masa jabatannya. Dia menuduh rezim Iran adalah penyandang dana global terorisme di dunia.

Cohen mengatakan, Iran sedang mencoba untuk mengancam Israel dari selatan di Gaza dan melalui utara di Suriah dan Lebanon. Oleh karena itu, Israel meningkatkan operasi keamanan di Iran.

 "Rezim Iran berbohong kepada seluruh dunia dan kami membuktikannya ketika kami membawa ribuan dokumen dari arsip Iran, dokumen yang membuktikan bahwa Iran berbohong kepada IAEA (International Atomic Energy Agency)," ujar Cohen, dilansir Middle East Monitor, Rabu (31/8/2022).

Cohen menambahkan, Israel akan melakukan segala upaya untuk menunda dan mencegah Iran membangun bom atom yang akan mengancam Israel. Sebelumnya Kepala Mossad, David Barnea, mengatakan, militer Israel telah memulai persiapan untuk menyerang Iran. Barnea menggambarkan kesepakatan nuklir Iran atau Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) sebagai bencana strategis bagi Israel.

Barnea mengatakan, kesepakatan JCPOA itu sangat buruk bagi Israel. Menurutnya, Amerika Serikat (AS) sedang terburu-buru membuat kesepakatan yang didasarkan pada kebohongan Iran. Hal ini mengacu pada klaim berkelanjutan Iran bahwa kegiatan nuklirnya digunakan untuk kegiatan damai.

"Mengingat kebutuhan AS dan Iran. Washington berusaha mencegah Teheran memperoleh kemampuan untuk membangun bom nuklir, sementara Republik Islam (Iran) mencari bantuan dari sanksi keuangan dan ekonomi yang melumpuhkan," ujar Barnea, dilansir Middle East Monitor, Ahad (28/8).

Barnea meyakini, JCPOA dapat memberikan lisensi bagi Iran untuk mengumpulkan bahan nuklir yang diperlukan untuk membuat sebuah bom dalam beberapa tahun mendatang. Dia juga percaya bahwa, JCPOA akan memberikan keuntungan senilai miliaran dolar kepada Teheran saat aset mereka dibekukan.

"Ini meningkatkan bahaya yang ditimbulkan Iran di seluruh kawasan melalui proksinya," ujar Barnea.

Barnea juga menekankan, Israel akan bertindak dengan cara yang dianggap tepat untuk menetralisir ancaman Iran. Dia mencatat, Israel telah memulai persiapan untuk serangan militer terhadap Iran jika tindakan tersebut dianggap perlu.

Sebelumnya pada Rabu (24/8/2022), Iran mengumumkan bahwa mereka menerima tanggapan AS untuk kembali menghidupkan kesepakatan JCPOA. Pada 2018, di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat secara sepihak keluar dari perjanjian JCPOA dan menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran.

Sejak itu, Iran mulai meningkatkan pengayaan uranium yang tidak sesuai dengan kesepakatan. Namun Iran menampik bahwa mereka sedang membangun senjata nuklir. Iran mengklaim peningkatan uranium itu digunakan untuk tujuan damai.

Para diplomat dari Iran, AS, Cina, Rusia, Prancis, Inggris, dan Jerman telah merundingkan kesepakatan JCPOA selama berbulan-bulan. Perundingan itu bertujuan agar Iran berkomitmen kembali pada pembatasan kesepakatan nuklirnya, dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement